Jakarta,corebusiness.co.id-Kementerian ESDM sedang memperketat kontrol produksi bijih nikel di Indonesia. Hal ini terbaca dari pemangkasan target produksi bijih nikel dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2026 di kisaran 250 juta ton. Sementara kapasitas kebutuhan smelter di perkirakan 290 juta ton per tahun.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Kementerian ESDM, Tri Winarno mengatakan pemangkasan produksi tersebut dilakukan untuk mengurangi kondisi kelebihan pasokan (oversupply) nikel di pasar global. Efeknya, harga bijih nikel Indonesia terus melemah.
Namun, Shanghai Metal Market (SMM) mengungkapkan ada pertimbangan lain, selain oversupply. Berdasarkan hasil diskusi SMM dengan ESDM, terungkap alasan pembatasan kuota produksi bijih nikel. Secara paralel, Pemerintah Indonesia semakin fokus pada pelestarian dan perpanjangan masa pakai sumber daya nikel Indonesia.
Menurut ESDM, kadar saprolit rata-rata pada tahun 2024 berada di sekitar 1,66 persen. Namun, dalam waktu hanya satu tahun, kadar saprolit rata-rata telah menurun menjadi sekitar 1,57 persen. Persentase penurunan kadar saprolit hampir 0,1 poin. Penurunan kualitas bijih yang cepat ini mencerminkan percepatan penambangan sumber daya berkadar tinggi.
ESDM berpandangan, jika pasokan dibiarkan tanpa pengawasan dan eksplorasi tidak dapat mengimbangi pertumbuhan permintaan, cadangan bijih nikel yang layak secara ekonomi di Indonesia dapat terkuras dengan laju yang jauh lebih cepat.
Kementerian yang dinahkodai Bahlil Lahadalia mencatat sebanyak 55 industri pirometalurgi telah beroperasi dan menghasilkan nikel kelas 2, seperti NPI, FeNI, dan nickel matte, di mana enam di antaranya telah memproduksi stainless steel slab/coil. Sementara tujuh industri hidrometalurgi dikabarkan telah mampu menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dari bijih nikel kadar rendah atau limonit.
ESDM juga mencatat total cadangan bijih nikel mencapai 5,32 miliar ton dan cadangan logam nikel 56,11 juta ton per 2024. Total sumber daya bijih nikel sendiri menembus 18,55 miliar ton dan total sumber daya logam nikel sebesar 184,6 juta ton.
Sementara itu, Analis Kebijakan Ahli Muda Kementerian ESDM, Juanda Volo Sinaga, dalam tulisannya berjudul: ‘Perspektif Tata Kelola Industri Hulu-Hilir Mineral Indonesia’, di laman minerba.esdm.go.id, mengutarakan penguasaan teknologi industri nasional masih terbatas pada tahap smelting produk dasar seperti FeNi dan NPI.
“Indonesia belum berhasil menguasai teknologi lanjutan seperti High-Pressure Acid Leaching (HPAL) yang sangat penting untuk menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik, superalloys, maupun aerospace alloys,” ungkap Juanda.