Oleh: Khudori
PEMERINTAH, melalui Kementerian Pertanian (Kementan), menargetkan produksi gula konsumsi mencapai 3 juta ton tahun 2026. Naik sebesar 330 ribu ton atau 12,3% dari perkiraan produksi tahun ini: 2,67 juta ton. Produksi 2025 sendiri naik sekitar 201 ribu ton atau 8,1% dari produksi 2024. Jika target produksi 2026 tercapai, tentu ini lompatan produksi yang luar biasa. Selama bertahun-tahun produksi gula konsumsi tak beranjak jauh dari 2,2-2,4 juta ton. Sementara kebutuhan konsumsi antara 2,8-3 juta ton.
Merujuk Proyeksi Neraca Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), 4 Desember 2025, kebutuhan gula konsumsi tahun ini sebesar 2.808.980 ton atau 234.082 ton per bulan. Dengan asumsi kebutuhan gula konsumsi di 2026 tidak jauh berbeda, jika produksi bisa mencapai 3 juta ton berarti Indonesia mencapai swasembada gula konsumsi. Jika ini benar tercapai, tentu prestasi ciamik. Karena telah memangkas waktu dua tahun alias lebih cepat dari target di Perpres 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel): tahun 2028.
Untuk mencapai itu, Kementan menargetkan perluasan tanam dan panen serta optimalisasi lahan tebu hingga 100 ribu hektare (ha) di tahun 2026. Dari target nasional itu 70 ribu ha (70%) di antaranya diharapkan dari Jawa Timur. Guna mempercepat eksekusi di lapangan dilakukan sinergi lintas kementerian/lembaga (K/L), pemda, BUMN, dan –tidak ketinggalan– dukungan dari aparat penegak hukum.
Jawa Timur adalah kunci. Jumlah pabrik gula (PG) di provinsi ini paling banyak di antara 38 provinsi, areal tebu juga paling luas: mencapai 239.544 ha dari 520.823 ha (45,9%) pada 2024. Wajar apabila produksi gula konsumsi juga paling besar: 1.252.840 ton dari 2.465.514 ton (50,8%) pada 2024. Justru di situ salah satu titik masalah. Menumpukan pencapaian swasembada gula konsumsi pada Jawa Timur tidak salah. Tapi ada risiko: swasembada gula konsumsi potensial menggerus produksi komoditas pangan lain.
Selain produsen utama gula konsumsi, Jawa Timur adalah jawara nomor wahid untuk produksi beras, jagung, bawang merah, cabai rawit, telur ayam, daging sapi, susu, dan garam. Aneka komoditas pangan itu sebagian besar diusahakan di lahan sawah. Pada 2017, luas sawah di Jawa Timur mencapai 1.174.586 ha, terdiri sawah irigasi 916.837 ha dan nonirigasi 257.748 ha. Artinya di sawah terjadi kompetisi komoditas yang sengit. Ketika satu komoditas luas panennya naik akan menekan luas panen yang lain.
Berlakulah teori “sarung cekak”: menutup dada kelihatan lutut, menutup lutut tampak dada. Serba salah. Artinya, ketika luas tanam/panen dan optimalisasi lahan tebu digenjot di Jawa Timur, amat mungkin akan menekan luas tanam/panen komoditas di luar tebu. Kecuali, kalau perluasan tanam/panen dan optimalisasi lahan itu dilakukan di lahan baru yang belum diusahakan, lahan Perhutani misalnya. Tapi seberapa luas?
Itu yang pertama. Kedua, capaian swasembada gula konsumsi amat ditentukan oleh insentif ekonomi yang diterima petani. Ini konsekuensi dari dominasi luas lahan tebu milik petani: 318.007 ha dari 520.823 ha (61,06%) pada 2024. Porsi ini naik dari tahun 2023: 58,89% atau 288.198 ha dari 489.338 ha. Apakah petani tebu punya ekspektasi insentif ekonomi yang mereka terima pada 2026 akan lebih baik? Bukankah pada 2025 ini petani kecewa karena produksi gula mereka menumpuk berbulan-bulan karena tak ada pembeli? Dan campur tangan pemerintah terbilang terlambat.
Ketiga, target swasembada gula konsumsi dibarengi dengan upaya bongkar raton. Tahun 2026 ditargetkan mencapai 100 ribu ha, sama dengan tahun ini. Kembali Jawa Timur menjadi andalan: target bongkar raton 70 ribu ha. Merujuk data Direktorat Jenderal Perekebunan( Ditjenbun) Kementan, hingga 26 Desember 2025 yang lolos bongkar raton 2026 di Jawa Timur baru mencapai 5.629 ha dari 29.608 ha usulan. Salah satu hal krusial adalah kesiapan bibit tebu yang memadai. Apa bibit cukup?
Bongkar raton diyakini mampu meningkatkan produktivitas tebu yang kemudian akan mendongkrak produksi gula. Riset pada lahan 4,4 hingga 8,4 ha dengan mengganti raton dan Praktik Pertanian yang Baik (GAP) untuk tebu (komposisi varietas dan kematangan tanaman, dosis pemupukan tepat dosis dan waktu, dan pengelolaan air) mendongkrak produktivitas dari sekitar 5 ton gula per ha menjadi 8,73-20,14 ton gula per ha. Meskipun menjanjikan, memperluas hasil ini menjadi perkebunan skala besar bukan hal mudah: perlu strategi, program, dan rencana aksi komprehensif. Dan itu pasti perlu waktu.