
Untuk anggota dari pengusaha dan distributor beras di Perpadi?
Anggota Perpadi banyak yang rangkap kegiatan usahanya. Ada anggota penggilingan padi merangkap distributor. Sebenarnya bagus itu memotong mata rantai. Ada juga anggota khusus distributor atau pedagang. Contohnya di Pasar Induk Cipinang, data di DPD DKI itu banyak yang menjadi anggota Perpadi.
Ke soal klasifikasi beras khusus, informasinya untuk ketentuan HET dilepas ke pasar. Pandangan Anda?
Itu sudah dari dulu, tergantung pasar. Beras khusus ini sebagian besar tidak menggunakan beras induk, tidak seperti beras reguler yang dikonsumsi sebagian besar rakyat Indonesia, makanya harganya diatur oleh pemerintah.
Saran Anda sebagai Ketum Perpadi agar industri perberasan di Indonesia bisa berjalan secara kondusif?
Kita memang sudah waktunya saling melakukan introspeksi. Untuk pemerintah saran kami, pertama, lihatlah peraturan-peraturan yang ada saat ini, khususnya HPP dan HET harus sinkron sampai di harga pasar.
Kedua, pengawasan dan pembinaan harus dilakukan secara berkesinambungan. Supaya para pelaku perberasan secara tiba-tiba disalahkan.
Ketiga, kaitannya dengan masalah harmonisasi. Contohnya peralatan laboratorium harus dilakukan harmonisasi antara yang dimiliki pabrikan laboratorium dengan yang dimiliki produsen. Jadi, harus ada sinkronisasi antarperalatan laboratorium tersebut. Jika dilakukan sinkronisasi, maka akan ketahuan peralatan laboratorium yang mengalami penurunan kualitasnya.
Kita juga melihat bahwa kebutuhan penggilingan padi pada dasarnya sudah berlebih kemampuan untuk melakukan penggilingan padi. Jadi, konsentrasinya lebih kepada revitalisasi modernisasi. Tujuannya untuk efisiensi.
Jadi, penggilingan-penggilingan padi yang kecil supaya bisa memproduksi sesuai dengan permintaan masyarakat, sehingga terjadi efisiensi. Masalahnya, untuk menuju modernisasi itu membutuhkan biaya, sementara kebanyakan penggilingan padi kecil adalah UMKM.
Bagaimana dengan sistem maklon?
Sistem maklon ini nilai tambahnya pada dasarnya kecil. Bahkan sepertinya tidak hanya seperti maklon. Saya berpandangan, di internal Perpadi harus ada kerja sama. Nggak bisa petani akan naik sendiri, atau misalnya penggilingan naik sendiri. Kita bisa membangun satu cluster. Jadi, antara petani dengan penggilingan padi dalam satu wilayah harus menyatu.
Saya sudah menghitung, satu penggilingan padi kecil kebutuhannya cukup 250 sampai 300 hektare sawah. Jika cluster ini diterapkan, akan terjadi efisiensi luar biasa.
Apalagi jika penggilingan padi kecil diberikan pinjaman modal untuk penyediaan listrik sebagai energi dalam menggerakkan kegiatan produksinya, atau menggunakan solar panel. Kemudian alat-alatnya diperbarui dan dilengkapi dengan alat-alat yang diperlukan.
Di sisi lain, antara penggilingan padi besar dengan yang kecil jangan saling gontok-gontokan, saling maju untuk kepentingan sendiri-sendiri. Haruslah dibangun satu jaringan kerja sama dengan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah butuh stok beras, bisa bekerja sama dengan penggilingan padi yang ada dalam satu cluster tersebut, sehingga pengadaan stok beras itu berjalan dinamis.
Jika dibuat regulasi pembentukan cluster-cluster tersebut, bentuk payung hukumnya?
Keberadaan cluster ini di bawah koordinasi kepala daerah setempat. Misalnya program KUR, subsidi pupuk, subsidi benih, hingga alsintan, nanti masuknya dalam program cluster tersebut. Untuk kesinambungan berjalannya cluster ini butuh butuh pengawasan dan bimbingan secara konsisten.
Saya punya pengalaman di low carbon rice project di 5 kabupaten. Frame over-nya di 150 penggilingan padi kecil. Ternyata, dari 150 penggilingan padi kecil, sekarang sudah 50 penggilingan padi kecil yang berganti menggunakan energi listrik, dari sebelumnya menggunakan diesel yang digerakkan energi solar. Pendampingan kami lakukan hanya sekitar 2 tahun.
Belakangan mereka baru sadar, karena memang sebelumnya tidak ada yang mengarahkan. Mereka bisa menghemat operasional sekitar 40 persen.
Saya sering menyampaikan di forum-forum resmi persoalan yang kita hadapi adalah di tataran implementasi. Undang-undang dan peraturannya sudah bagus, begitu implementasi dilakukan sendiri-sendiri.
Makanya dulu ketika saya menjadi Kepala Dinas Pertanian di Kalimantan Barat, setiap minggu saya selenggarakan pertemuan dengan semua instansi terkait.
Sebetulnya ketika saya menjabat Dirjen Tanaman Pangan ingin menerapkan model cluster. Namun, baru bisa saya aplikasikan ketika saya menjabat Kepala Bulog. Jadi, ketika itu frame over-nya adalah Bulog. Ternyata bisa model cluster tersebut diaplikasikan. Permodalan masuk, asuransi masuk benih lancar, pupuk pun lancar. Pembayaran kredit juga tidak nunggak. Semuanya itu tergantung kemauan orangnya. (Syarif)