Jakarta,corebusiness.co.id-Menteri Perdagangan, Budi Santoso didampingi Wakil Menteri Perdagangan, Dyah Roro Esti, berharap DPR RI mengesahkan Second Protocol to Amend the Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).
Hal itu disampaikan Mendag Budi Santoso saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (20/11/2024. Rapat kerja dipimpin Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Eko Hendro Purnomo.
Rapat kerja tersebut membahas mengenai program kerja dan anggaran Kemendag tahun 2025, target penyelesaian peta jalan Kemendag, serta pembahasan terkait rencana pengesahan Second Protocol to Amend the Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA).
Pada rapat kerja tersebut, Mendag menyampaikan 3 program utama Kementerian Perdagangan, yaitu pengamanan pasar dalam negeri, perluasan pasar ekspor, dan peningkatan UMKM BISA (Berani Inovasi Siap Adaptasi) Ekspor.
Mendag mengungkapkan, Kemendag akan melakukan pengembangan ekosistem UMKM ekspor, baik melalui fasilitasi pemasaran produk UMKM maupun peningkatan peran agregator guna meningkatkan daya saing UMKM ekspor. Kementerian Perdagangan juga akan mengoptimalkan peran perwakilan perdagangan dalam promosi ekspor UMKM.
Berkaitan Protokol Kedua, Budi Santoso bisa segera disetujui DPR RI. Menurutnya, Protokol Kedua ini erat kaitannya dengan target prioritas kerja 100 hari Kemendag terkait perluasan ekspor dan UMKM BISA (Berani Inovasi Siap Adaptasi) Ekspor.
Protokol Kedua juga sesuai amanat Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 mengenai Perluasan Kerja Sama Perdagangan Internasional, khususnya Pasal 84 bahwa pemerintah perlu meminta persetujuan DPR RI atas perjanjian internasional.
“Presiden telah menandatangani surat tanggal 18 Oktober 2024 perihal rencana pengesahan Protokol Kedua yang telah diterima oleh Ketua DPR RI untuk mendapatkan pengesahan. Protokol Kedua diprediksi akan meningkatkan ekspor Indonesia ke semua pihak, yaitu AANZFTA sebesar 0,16 persen pasca implementasi dan akan terus meningkat menjadi Rp 9,41 triliun di tahun 2033,” tutur Mendag Budi Santoso.
Produk Impor vs Produk Dalam Negeri
Menanggapi pemaparan program kerja Kemendag, anggota Komisi VI DPR RI Sadarestuwati mengakui politik anggaran yang dibutuhkan Kementerian Perdagangan belum terwujud secara optimal. Berdasarkan laporan Mendag Budi Santoso disebutkan untuk program luar negeri baru terealisasi sekitar Rp 222 miliar. Anggaran program perdagangan dalam negeri sekitar Rp 252 miliar, dan anggaran untuk dukungan manajemen lebih dari Rp 1 triliun.
“Melihat anggaran ini, tentunya berbanding terbalik dengan agenda-agenda yang harus dilakukan Kemendag untuk mencapai target. Jika dilihat anggaran Kemendag sebelum era 2020 anggarannya antara Rp 2,7 triliun sampai Rp 2,8 triliun. Sementara anggaran Kemendag ini tinggal Rp 1,6 triliun,” ungkap Sadarestuwati.
Dalam kondisi anggaran yang belum optimal ini, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini lantas menanyakan strategi yang akan dilakukan Kemendag untuk mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi antara 7 persen sampai 8 persen seperti yang telah disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
“Tentunya bukan strategi yang normatif, tapi strategi yang benar-benar jleb, yang benar-benar mengenai jantung, sehingga bisa mencapai yang diinginkan Presiden Prabowo,” ucapnya.
Ia mengungkapkan, per Rabu, 20 November 2024, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sudah menyentuh Rp 15.868. Tingginya kurs dolar terhadap rupiah tentu berpengaruh terhadap harga-harga barang impor maupun produk dalam negeri. Sementara kondisi masyarakat saat ini, khususnya di desa-desa, kemampuan daya belinya sangat rendah.
Beberapa hari ini, Sadarestuwati mengaku dikejutkan oleh masyarakat di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, masih mengkonsumsi serangga, seperti belalang. Walaupun makan serangga sudah menjadi kebiasaan masyarakat Gunung Kidul, tetapi menurut Sadarestuwati. hal ini menjunjukkan masih banyak masyarakat yang terpinggirkan atau kurang mampu.
“Kalau melihat agreement yang sudah dilakukan Kemendag, rasanya ini sangat berat. Kalau kita harus digelontorkan dengan produk-produk impor dengan bea masuk nol persen atau bebas pajak, akan menggerus produk-produk dalam negeri. Bahkan produk-produk yang dihasilkan oleh petani. Contohnya petani susu yang sudah kena imbas. Beberapa waktu lalu banyak petani membuang susu, karena tidak ada pabrik yang menyerap produk susu petani,” ungkapnya.
Sadarestuwati menilai produk susu impor jauh lebih murah, sehingga pabrik tidak mengambil susu dari peternak dalam negeri. Tetapi ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk mendahulukan produk petani dan peternak dalam negeri untuk diserap oleh pabrik. Jika ada kekurangan susu, baru dipenuhi produk susu impor.
“Yang bisa mengendalikan kondisi ini hanya pemerintah. Kalau petani atau asosiasi tidak bisa,” tukasnya.
Karena itu, Sadarestuwati mengingatkan Kemendag berhati-hati tentang rencana amandemen penerapan Protokol Kedua. Dia sudah membahas ketentuan ini semasih di Komisi VI periode sebelumnya, ada 12 item yang akan dilakukan pihak luar, namun sebenarnya mampu dikerjakan SDM dalam negeri.
Ia menekankan, jangan sampai karena penerapan Protokol Kedua ini berakibat pengusaha kecil dalam negeri harus gulung tikar, karena produk dalam negeri lebih mahal dibandingkan produk impor.
“Boleh jadi barang impor, contohnya beras harganya lebih murah. Namun, beras impor tersebut memang sudah tidak digunakan di negeri asalnya. Saya melihat sendiri Indonesia mengimpor beras, di mana beras tersebut sudah tidak digunakan, kemudian diekspor ke Indonesia. Jangan sampai Indonesia menjadi negara sampah atau tempat pembuangan untuk barang-barang impor yang kualitasnya lebih rendah daripada produk dalam negeri,” ucapnya.
Sadarestuwati juga mencontohkan buah-buahan impor, tanpa disadari sebenarnya kualitasnya jauh lebih bagus dibandingkan buah-buahan dalam negeri. Karena buah-buahan yang diproduksi petani dalam negeri tanpa treatment, tanpa menggunakan pestisida yang berlebihan.
“Tetapi, kita disuguhkan buah-buahan yang tampilannya bagus dari impor, namun kandungan pestisidanya jauh lebih besar dibandingkan buah-buahan dari petani dalam negeri. Pemerintah membuat kebijakan petani tidak boleh menggunakan pestisida berlebihan. Di sisi lain, kita membiarkan produk-produk impor yang menggunakan pestisida secara berlebihan,” pungkasnya. (Rif).