Sadarestuwati menilai produk susu impor jauh lebih murah, sehingga pabrik tidak mengambil susu dari peternak dalam negeri. Tetapi ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk mendahulukan produk petani dan peternak dalam negeri untuk diserap oleh pabrik. Jika ada kekurangan susu, baru dipenuhi produk susu impor.
“Yang bisa mengendalikan kondisi ini hanya pemerintah. Kalau petani atau asosiasi tidak bisa,” tukasnya.
Karena itu, Sadarestuwati mengingatkan Kemendag berhati-hati tentang rencana amandemen penerapan Protokol Kedua. Dia sudah membahas ketentuan ini semasih di Komisi VI periode sebelumnya, ada 12 item yang akan dilakukan pihak luar, namun sebenarnya mampu dikerjakan SDM dalam negeri.
Ia menekankan, jangan sampai karena penerapan Protokol Kedua ini berakibat pengusaha kecil dalam negeri harus gulung tikar, karena produk dalam negeri lebih mahal dibandingkan produk impor.
“Boleh jadi barang impor, contohnya beras harganya lebih murah. Namun, beras impor tersebut memang sudah tidak digunakan di negeri asalnya. Saya melihat sendiri Indonesia mengimpor beras, di mana beras tersebut sudah tidak digunakan, kemudian diekspor ke Indonesia. Jangan sampai Indonesia menjadi negara sampah atau tempat pembuangan untuk barang-barang impor yang kualitasnya lebih rendah daripada produk dalam negeri,” ucapnya.
Sadarestuwati juga mencontohkan buah-buahan impor, tanpa disadari sebenarnya kualitasnya jauh lebih bagus dibandingkan buah-buahan dalam negeri. Karena buah-buahan yang diproduksi petani dalam negeri tanpa treatment, tanpa menggunakan pestisida yang berlebihan.
“Tetapi, kita disuguhkan buah-buahan yang tampilannya bagus dari impor, namun kandungan pestisidanya jauh lebih besar dibandingkan buah-buahan dari petani dalam negeri. Pemerintah membuat kebijakan petani tidak boleh menggunakan pestisida berlebihan. Di sisi lain, kita membiarkan produk-produk impor yang menggunakan pestisida secara berlebihan,” pungkasnya. (Rif).