PT IPC Terminal Petikemas (IPC TPK) menginformasikan siaran pers tentang perubahan susunan Dewan Komisaris. Hal ini tertuang sesuai Surat Keputusan Para Pemegang Saham Di Luar Rapat Umum Pemegang Saham tentang Pergantian Komisaris PT IPC Terminal Petikemas Nomor: HM.03.03/21/10/3/PAPU/DRTU/PLTP-24 dan Nomor: SK.03/21/10/1/DIRU/DIRU/PII-24 pada Senin, 21 Oktober 2024 yang sekaligus menjadi tanggal efektif berlaku masa tugas Dewan Komisaris.
Perubahan Dewan Komisaris melalui Keputusan Para Pemegang Saham Di Luar Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat Husna sebagai Komisaris Independen Perseroan dan Chaerudin Affan sebagai Komisaris Independen Perseroan, serta berakhirnya masa jabatan Kiki Rizki Yoctavian sebagai Komisaris Independen Perseroan.
Secara lengkap, jajaran Dewan Komisaris IPC TPK per 21 Oktober 2024, yaitu Asmai Ishak sebagai Komisaris Utama, Muarip sebagai Komisaris, Eko Putro Adijayanto sebagai Komisaris, Sabri Saiman sebagai Komisaris, Husna sebagai Komisaris Independen, dan Chaerudin Affan sebagai Komisaris Independen.
Salah satu dari jajaran Dewan Komisaris IPC TPK, Sabri Saiman posisinya tetap menjadi komisaris. Dia merupakan tokoh masyarakat Jakarta Utara yang menasional. Mantan anggota DPR RI Komisi V Periode 2004-2009 dan mantan PMI Jakarta Utara.
Keberadaan pria kelahiran Banda Aceh, 18 Oktober 1942, di dalam Pelabuhan Tanjung Priok sangat panjang. Sabri Saiman sudah menjajaki Pelabuhan Tanjung Priok sejak 1962 tatkala menjalani aktivitas bisnisnya.
Pria yang akrab disapa Bang Sabri ini meroket seiring bergulirnya era reformasi 1998. Pergulatan panjang dilalui Sabri bersama tokoh-tokoh reformasi. Bahkan hingga saat ini masih banyak tokoh nasional dan pejabat yang bersilaturahmi dan berdiskusi ke rumahnya di Jalan Swasembada Barat VIII, Kelurahan Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
“Saya akan menerbitkan kembali lanjutan buku Berani Melawan Arus. Sekarang bukunya masih disusun,” kata Sabri seraya memperlihatkan bundelan buku tersebut kepada corebusiness.co.id ketika menyambangi rumahnya.
Buku Berani Melawan Arus pertama sudah diluncurkan Sabri ketika usianya 80 tahun di Bidakara Hotel, Jakarta Selatan, Jumat, 28 Oktober 2022. Buku tersebut disusun oleh Tim Penyusun Buku: Kawiyan Tjakjan dkk. Buku ini mengisahkan semangat Sabri untuk selalu memikikan apa yang ada di luar dirinya, namun dia tetap konsisten dengan prinsip hidupnya.
Kalau dihitung waktu Sabri, 80 tahun dalam perjalanan hidupnya sebagian besar digunakan untuk kerja kemasyarakatan, dan inilah yang membuat dirinya menjadi rujukan dan sedikit unik di antara tokoh-tokoh nasional lainnya.
Mendapat amanah sebagai Komisaris PT IPC TPK, Sabri berkenan bicara soal PT Pelindo secara umum, pasca meleburnya PT Pelindo I, PT Pelindo II, PT Pelindo III, dan PT Pelindo IV menjadi PT Pelindo.
Sejarah Pelindo
Menukil website pelindo.co.id, dikisahkan Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai negara maritim. Di masa lalu, kerajaan-kerajaan maritim nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan di Maluku pernah memegang kunci jalur perdagangan dunia lewat rempah-rempah. Pedagang-pedagang dari Gujarat dan China mengambil rempah-rempah dari Kepulauan Maluku lalu mengirimkannya melalui kapal-kapal dagang menuju Cina, Semenanjung Arab, Eropa, hingga ke Madagaskar.
Pelabuhan-pelabuhan kecil di Indonesia menjadi tempat persinggahan dan pusat perdagangan yang mempertemukan para pedagang dari berbagai bangsa, sehingga menjadi bandar niaga yang besar. Hal ini melatari lahirnya Pelabuhan Indonesia di era kemerdekaan.
Sebelumnya, untuk mengelola kepelabuhanan di Indonesia, dibentuk empat Pelindo yang terbagi berdasar wilayah yang berbeda. Pelindo I, misalnya, mengelola pelabuhan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Pelindo I dibentuk berdasar PP No.56 Tahun 1991, sedang nama Pelindo I ditetapkan berdasar Akta Notaris No.1 tanggal 1 Desember 1992.
Pelindo II mengelola pelabuhan di wilayah sepuluh provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat. Pelindo II dibentuk berdasar PP No.57 Tahun 1991, Pelindo II Persero) didirikan berdasar Akta Notaris Imas Fatimah SH, No.3, tanggal 1 Desember 1992.
Pelindo III mengelola pelabuhan di wilayah tujuh provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bali, NTB dan NTT. Pembentukan Pelindo III tertuang dalam Akta Notaris Imas Fatimah, SH No.5 tanggal 1 Desember 1992, berdasar PP No.58 Tahun 1991.
Sedang Pelindo IV mengelola pelabuhan di wilayah 11 provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengggara, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Pelindo IV dibentuk berdasar PP No.59 Tanggal 19 Oktober 1991. Sedang akta pembentukannya adalah Akta Notaris Imas Fatimah, SH no,7 tanggal 1 Desember 1992.
Masing-masing Pelindo memiliki cabang dan anak usaha untuk mengelola bisnisnya. Pelindo I, II, III, IV adalah Perusahaan BUMN Non Listed yang sahamnya 100% dimiliki oleh Kementerian BUMN selaku Pemegang Saham Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, tidak terdapat informasi Pemegang Saham Utama maupun Saham Pengendali Individu di Pelindo. Negara Republik Indonesia yang diwakili oleh Kementerian BUMN merupakan satu-satunya pemilik dan pemegang saham tunggal.
Merger atau integrasi keempat Pelindo menjadi satu Pelindo yang kemudian diberi bernama PT Pelabuhan Indonesia ini berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2021 Tentang Penggabungan PT Pelindo I, III, dan IV (Persero) ke Dalam PT Pelabuhan Indonesia II (Persero).
Pelindo II bertindak sebagai holding induk (perusahaan induk) dan ke-3 Pelindo (I,III, IV) bertindak sebagai sub-holding. Pembentukan sub-holding yang mengelola klaster-klaster usaha ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pelayanan Pelindo dan efisiensi usaha.
Berdasarkan Surat Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia nomor : S-756/MBU/10/2021 tanggal 1 Oktober 2021 perihal Persetujuan Perubahan nama, Perubahan Anggaran dasar dan Logo Perusahaan. Sehingga Pelindo II berganti nama menjadi PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo.
Meningkatkan Bisnis Pelindo
Menurut Sabri, penggabungan empat PT Pelindo menjadi satu Pelindo, secara eksternal tujuannya untuk meningkatkan pelayanan publik. Namun secara internal, PT Pelindo masih melakukan pembenahan-pembenahan, misalnya sistem penggajian, sistem kinerja, hingga keberadaan SDM.
“Untuk SDM, ada yang regular dan tenaga non-organik. Saya dengar dari direksi akan diselesaikan tahun depan,” ujar Sabri.
Sabri menyampaikan, berdasarkan pendataan terbaru tercatat aset Pelindo hampir Rp 123 triliun. Menurutnya, jika semua aset Pelindo mau dibenahi pemerintah, asetnya akan bertambah. Ketika asetnya bertambah, aktivitasnya akan bertambah, sehingga berdampak positif terhadap meningkatnya kemampuan bisnis dan pendapatan Pelindo.
Karena itu, Sabri menekankan, perlunya ada sinkronisasi, efisiensi, dan pengawasan dari pemerintah, yang muaranya akan menjadi peningkatan pendapatan negara.
“Sebagai praktisi di lapangan, saya melihat perlu banyak pembenahan. Termasuk masalah angkutan yang melayani pelabuhan. Misalnya kendaraan angkutan, harus ada sertifikatnya. Sekarang sertifikatnya ada, tapi odol-odolan. Ada kendaraan sudah berumur 70 dan 80 tahun masih mengangkut, sopirnya pun tidak jelas. Semua terjadi karena pengawasan tidak jalan,” ungkapnya.
Meskipun Pelindo yang masuk lima besar BUMN sehat, menurut Sabri masih bisa dibenahi dan ditingkatkan aktivitas bisnisnya. Dia kembali menyorot aset-aset Pelindo yang sekarang dipakai oleh institusi di luar kepentingan bisnis, harus diserahkan kembali ke Pelindo.
“Dasarnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,” jelasnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengatur tentang pelayaran sebagai suatu kesatuan sistem yang meliputi: Angkutan di Perairan, Kepelabuhanan, Keselamatan dan Keamanan, Perlindungan Lingkungan Maritim.
“Kalau kita mau bicara soal undang-undang, wilayah kerja pelabuhan dari Tanjung Priuk sampai Cempaka Putih. Namun, pada tahun 1974 masalah wilayah ini diserahkan ke Pemerintah DKI Jakarta. Ini yang menjadi kendala untuk mengatasi fraud peti kemas atau kontainer yang sekarang sudah lebih dari 9 juta TEUs,” tuturnya.
Sabri juga menanggapi kerja sama operasi Pelindo dengan mitra bisnisnya dengan sistem bagi hasil 40:60 persen, tapi mitra Pelindo tidak investasi.
“Saya berkali-kali katakan, jika Pelindo sebagai tuan rumah, dia yang menentukan, bukan ada lembaga lain yang ikut-ikut cawe-cawe. Dia mau beroperasi silakan, bikin kerja sama yang real berdasarkan kompetensi. Karena Pelindo bukan regulator, dia pelaksana bisnis di Pelabuhan,” pungkasnya.
Sabri berpandangan, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia mampu menjalankan aktivitas ekspor dan impor. Dan pemerintah telah memberikan kewenangan pengelola pelabuhan adalahan Pelindo, sekaligus menjadi pelayan publik untuk kegiatan ekspor impor.
Sabri lantas berharap kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membuat sinkronisasi kebijakan atau peraturan lebih tegas tentang peraturan pelayaran di Indonesia. Dan Pelindo sebagai perusahaan yang ditunjuk pemerintah untuk pengelolaan pelabuhan bisa lebih meningkatkan aktivitas bisnis, sehingga memberikan kontribusi maksimal kepada negara Indonesia.
“Kita harus satu bahasa untuk meningkatkan kinerja Pelindo,” tegas Sabri. (Gaus Kaisuku/Syarif)