“Dasarnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,” jelasnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengatur tentang pelayaran sebagai suatu kesatuan sistem yang meliputi: Angkutan di Perairan, Kepelabuhanan, Keselamatan dan Keamanan, Perlindungan Lingkungan Maritim.
“Kalau kita mau bicara soal undang-undang, wilayah kerja pelabuhan dari Tanjung Priuk sampai Cempaka Putih. Namun, pada tahun 1974 masalah wilayah ini diserahkan ke Pemerintah DKI Jakarta. Ini yang menjadi kendala untuk mengatasi fraud peti kemas atau kontainer yang sekarang sudah lebih dari 9 juta TEUs,” tuturnya.
Sabri juga menanggapi kerja sama operasi Pelindo dengan mitra bisnisnya dengan sistem bagi hasil 40:60 persen, tapi mitra Pelindo tidak investasi.
“Saya berkali-kali katakan, jika Pelindo sebagai tuan rumah, dia yang menentukan, bukan ada lembaga lain yang ikut-ikut cawe-cawe. Dia mau beroperasi silakan, bikin kerja sama yang real berdasarkan kompetensi. Karena Pelindo bukan regulator, dia pelaksana bisnis di Pelabuhan,” pungkasnya.
Sabri berpandangan, pelabuhan-pelabuhan di Indonesia mampu menjalankan aktivitas ekspor dan impor. Dan pemerintah telah memberikan kewenangan pengelola pelabuhan adalahan Pelindo, sekaligus menjadi pelayan publik untuk kegiatan ekspor impor.
Sabri lantas berharap kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto membuat sinkronisasi kebijakan atau peraturan lebih tegas tentang peraturan pelayaran di Indonesia. Dan Pelindo sebagai perusahaan yang ditunjuk pemerintah untuk pengelolaan pelabuhan bisa lebih meningkatkan aktivitas bisnis, sehingga memberikan kontribusi maksimal kepada negara Indonesia.
“Kita harus satu bahasa untuk meningkatkan kinerja Pelindo,” tegas Sabri. (Gaus Kaisuku/Syarif)