Jakarta,corebusiness.co.id-Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO), Anggawira, mendorong pihak perbankan untuk lebih agresif menciptakan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan hilirisasi. Termasuk mempermudah akses pembiayaan bagi UKM yang ingin masuk ke hilirisasi
Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, dari realisasi investasi Rp1,261 triliun pada periode Januari hingga September 2024 sebesar Rp 272, 91 triliun atau 21,6 persen kontribusi sektor hilirisasi.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Ketua BKPM, Todotua Pasaribu mengatakan, pada tahun 2024 target investasi Indonesia ditetapkan sebesar Rp1.650 triliun, meningkat dari Rp1.400 triliun pada tahun sebelumnya. Pada September 2024, total realisasi investasi mencapai Rp1.261 triliun, atau sebesar 76,45 persen dari target yang ditetapkan Presiden RI.
“Lima tahun ke depan dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, sudah ada angka dari Bappenas yang diberikan yakni harus tercipta kurang lebih investasi sebesar Rp13.560 triliun,” kata Todotua Pasaribu dalam sambutan di acara penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang Perizinan Terkait Sektor Keuangan dengan Bank Indonesia (BI) di Kantor Bank Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta, Rabu (13/11/2024).
PKS bertujuan memperkuat iklim investasi serta meningkatkan sinergi antara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM dengan BI dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Todotua menjabarkan, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi rata-rata 8 persen pada lima tahun ke depan, ada beberapa langkah strategi, di antaranya peningkatan investasi dan hilirisasi, digitalisasi, dan ekonomi hijau.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO), Anggawira mengapresiasi penandatanganan PKS antara Kementerian Investasi/BKPM dengan BI, salah satunya untuk peningkatan investasi di sektor hilirisasi.
“Dukungan perbankan Indonesia terhadap pengembangan industri hilirisasi sejauh ini sudah terlihat. Namun, saya melihat masih ada ruang untuk peningkatan. Beberapa bank telah menyediakan skema pembiayaan khusus, termasuk kredit investasi dan modal kerja, yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha di sektor ini. Namun, akses terhadap pembiayaan tersebut masih sering terkendala, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang ingin masuk ke hilirisasi,” kata Anggawira ketika dihubungi corebusiness.co.id, Senin (18/11/2024).
Anggawira mengemukakan kendala utama bagi pengusaha nasional yang ingin mendapatkan pinjaman modal untuk membangun industri hilirisasi dari perbankan, yaitu masih tingginya suku bunga kredit dan persyaratan yang cukup ketat.
“Padahal, hilirisasi membutuhkan investasi jangka panjang dan risiko yang relatif lebih tinggi. Selain itu, literasi sektor perbankan terhadap potensi dan model bisnis hilirisasi juga perlu ditingkatkan, agar tercipta pemahaman yang lebih baik dalam menilai kelayakan proyek-proyek di sektor ini,” ungkapnya.
Lantaran kendala tersebut, Anggawira mendorong perbankan untuk lebih agresif menciptakan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan hilirisasi, seperti pembiayaan berbasis hasil (profit-sharing) atau pembiayaan dengan tenor yang lebih fleksibel.
“Kerja sama antara pemerintah, perbankan, dan sektor swasta juga penting untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi percepatan hilirisasi,” pungkasnya.
Hilirisasi Didominasi Pembiayaan Asing
Sebelumnya, Departemen Makroprudensial Bank Indonesia mengungkap berbagai tantangan perbankan nasional dalam melakukan pembiayaan hilirisasi. Pertama, masalah expertise. Proyek hilirisasi itu pada umumnya full teknologi dan tidak banyak perbankan di Indonesia yang mempunyai expertise untuk melakukan penilaian terhadap obyek hilirisasi.
Kondisi ini membutuhkan bidang yang expert serta dukungan dari tenaga konsultan untuk dapat menilai kelayakan proyek hilirisasi, baik dari sisi ketersediaan dan keberlangsungan bahan baku, teknologi yang digunakan, infrastruktur yang dimiliki, hingga ketersediaan dan keberlangsungan demand produk hilirisasi. Yang terpenting adalah analisis dampak lingkungan dari proyek hilirisasi.
“Perbankan juga mengalami hambatan dari sisi eksekusinya. Umumnya orang tahu proyek hilirisasi berjangka panjang, padahal dari sisi komposisi pendanaan jangka pendek. Artinya, jangka pendanaan dari perbankan untuk jangka pendek digunakan untuk jangka panjang akan ada banyak risiko. Salah satunya risiko dari nilai tukar, karena pada umumnya proyek hilirisasi didanai kredit valas,” tutur Mal Isnaini SM Yanti, ketika menjabat Direktur Grup Kebijakan dan Koordinasi Departemen Makroprudensial Bank Indonesia.
Isnaini mengatakan, kondisi saat ini pemberian modal untuk hilirisasi, dalam hal ini smelter pengolahan pertambangan, didominasi pembiayaan dari luar negeri dibandingkan dari perbankan di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan perbankan di Indonesia untuk dapat membiayai proyek hilirisasi.
Kendati demikian, BI melihat bukan berarti tidak ada peluang untuk membiayai proyek hilirisasi. Berdasarkan kajian BI, korporasi yang melakukan hilirisasi ternyata mampu menarik investor dibandingkan korporasi yang tidak melakukan hilirisasi.
Artinya, jelas Isnaini, perbankan Indonesia melihat korporasi yang melakukan proses hilirisasi memiliki prospek yang bagus untuk dibiayai perbankan. Namun, melihat ada tantangan yang tidak ringan bagi perbankan, perbankan harus pintar-pintar mencari celah masuk proyek hilirisasi tersebut. Jadi, tidak mesti langsung membiayai proyek hilirisasi secara utuh, namun bisa mengambil dari sisi upstream atau mindstream.
“Jadi, dari sisi penyediaan bahan baku, produk olahan, atau bahkan kegiatan-kegiatan yang mendukung distribusi dari output hilirisasi tersebut,” jelasnya.
Isnaini menyarankan, jika salah satu perbankan tidak mampu melakukan pendanaan, ada beberapa mekanisme atau skema yang dapat dilakukan. Umumnya adalah sindikasi kredit bersama-sama dengan perbankan lain, baik secara domestik maupun dengan perbankan asing. (Syarif)