
Jakarta,corebusiness.co.id-Indonesia saat ini menempati peringkat ke-7 dunia dalam industri pulp dan peringkat ke-6 dunia dalam industri kertas. Namun, masih terdapat beberapa tantangan besar yang harus dihadapi pelaku industri pulp dan kertas di Indonesia.
Sesuai Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035, pulp dan kertas merupakan salah satu industri prioritas nasional. Industri pulp dan kertas Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
Pulp adalah bubur kertas yang merupakan hasil pemisahan serat dari bahan baku berserat, seperti kayu atau non kayu. Pulp merupakan bahan baku utama dalam pembuatan kertas.
Proses pembuatan pulp dilakukan dengan memisahkan lignin dari bahan berserat untuk mendapatkan serat selulosa. Serat selulosa ini kemudian diproses secara mekanis, semikimia, atau kimia untuk menghasilkan pulp.
Pulp dapat berasal dari berbagai bahan baku, seperti kayu lunak (Pinus Merkusi, Agatis Loranthifolia, dan Albizza Folcata), kayu keras (kayu Oak), daun nenas, dan batang pisang.
Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri kimia unggulan Indonesia. Produk kertas tidak hanya digunakan untuk menulis, tetapi juga untuk packaging, merchandise, dan penelitian
Beberapa perusahaan pulp dan kertas terbesar di Indonesia, antara lain PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), merupakan pabrik kertas terbesar dan tercanggih di Asia Tenggara,
PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM), yang memproduksi berbagai jenis kertas, stationery, dan produk perlengkapan kantor, PT Suparma Tbk, yang memproduksi kertas industri dan kertas kemasan, PT Fajar Surya Wisesa Tbk adalah perusahaan yang memproduksi kertas kemasan berkualitas dengan biaya rendah, dan PT Alkindo Naratama Tbk, yang memproduksi bobbin, yaitu produk dari kertas karton yang digunakan untuk industri benang tekstil
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian, pada tahun 2023, total ekspor sektor ini mencapai US$ 8,37 miliar dan menyumbang hingga 4,03 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan nonmigas. Selain itu, industri ini juga menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 275 ribu tenaga kerja langsung dan 1,2 juta tenaga kerja tidak langsung.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menyampaikan, industri pulp dan kertas Indonesia juga memiliki keunggulan komparatif yaitu ketersediaan bahan baku kayu yang tumbuh relatif lebih cepat dari Hutan Tanaman Industri.
“Beberapa dekade lalu, negara-negara North America and Scandinavia (NORSCAN) menjadi pemasok utama produk pulp dan kertas dunia, namun, sekarang mulai terjadi pergeseran yang signifikan ke arah Asia, khususnya Indonesia dan negara-negara di Asia Timur. Ini adalah peluang besar bagi kita, sebuah kesempatan Indonesia untuk menjadi raja industri pulp,” ujar Putu di Jakarta, dalam keterangan tertulis.
Putu menyebut bahwa konsumsi kertas per kapita di Indonesia baru mencapai 32 kg per tahun, yang berarti pasar pulp dan kertas masih memiliki potensi besar untuk berkembang. Selain itu, adanya tren green lifestyle yang semakin populer mendorong penggunaan kertas sebagai material kemasan ramah lingkungan menggantikan plastik. Hal ini juga membuka peluang untuk Indonesia meraih pasar baru, baik di dalam negeri maupun global.
Ia mengutarakan, seiring dengan berkembangnya industri pulp dan kertas, juga terjadi peningkatan yang signifikan dalam kapasitas produksi.
“Dari 103 unit usaha pada tahun 2021, kini menjadi 113 unit usaha pada tahun 2024. Kapasitas terpasang pulp meningkat dari 10 juta ton per tahun menjadi 12,3 juta ton per tahun. Sementara kapasitas produksi kertas meningkat dari 18,2 juta ton menjadi 20,86 juta ton per tahun pada periode yang sama,” ungkap Putu.
Tantangan
Meski Indonesia kini menempati peringkat ke-7 dunia dalam industri pulp dan peringkat ke-6 dunia dalam industri kertas, Putu mengungkap, masih terdapat beberapa tantangan besar yang harus dihadapi. Seperti ketersediaan bahan baku kertas daur ulang (KDU), jaminan pasokan bahan baku dari impor yaitu kebijakan European Union Waste Shipment Regulation (EUWSR) yang akan membatasi impor KDU dari Uni Eropa.
Tantangan lainnya, pemberlakuan beberapa konvensi internasional yang rentan mendisrupsi pasar kertas produk dalam negeri, antara lain kerja sama kemitraan Regional Comprehesive Economic Partnership (RCEP) dan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) untuk produk-produk kertas yang dipasarkan di Uni Eropa.
Terkait dengan permasalahan KDU, menurut Putu, ketersediaan dalam negeri nyatanya belum mencukupi kebutuhan industri kertas, dan bahan baku KDU yang masih membutuhkan peningkatan kualitas dalam hal penurunan impuritasnya. Karena itu, Kemenperin telah merumuskan langkah berupa penguatan tata kelola bahan baku khususnya KDU, baik dari dalam negeri atau impor dan peningkatan daya saing produk lokal melalui hilirisasi dan transfer teknologi.
Langkah-langkah lainnya yaitu penerapan ekonomi sirkular dan keberlanjutan, termasuk peningkatan recovery rate dalam negeri, serta perluasan pasar ekspor dalam bentuk penguatan perjanjian kerja sama kemitraan akses produk industri internasional. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menjaga operasional industri dan bermuara pada dukungan penciptaan daya saing industri pulp dan kertas nasional.
“Kami juga mendukung upaya peningkatan akses bahan baku KDU yang di-recover di dalam negeri melalui pembinaan standar spesifikasi sektor KDU sebagai bahan baku industri, benchmarking teknologi pengelolaan impuritas secara mandiri sesuai profil industri pengguna KDU, dan menyiapkan Rencana Kebutuhan Industri untuk KDU pada neraca komoditas,” jelasnya. (Rif)