
Anak itu menceritakan, setelah menikah, dia tinggal di hotel. Setiap hari aktivitasnya hanya bersenang-senang saja, seperti rekreasi, kulineran, dan belanja. Namun, setiap pagi dia diantarkan pulang ke rumahnya di desa dengan mobil.
Ternyata, ungkap Arifatul, setelah 3 minggu anak ini di hotel, yang si perantara sedang mengurus paspor dan segala sesuatunya untuk keperluan di negara lain.
“Modus ini mulai terendus. Ketika si anak ini akan berangkat, pihak keimigrasian bandara merasa curiga dengan rencana keberangkatan anak tersebut keluar negeri. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, pihak keimigrasian mengamankan anak tersebut,” tutur Arifatul.
Arifatul merasa prihatin wanita berusia berlasan tahun itu terpaksa menjalani hidup yang seharusnya belum ia lakukan.
“Di 16 tahun ia sudah melakukan hal yang sepatutnya belum ia alami. Dia sudah menjadi istri, tidak melanjutkan sekolah,” katanya.
Belakangan, disamikan Arifatul, diketahui surat perjanjian yang ditandatangani orangtua anak itu, salah satunya berbunyi: jika si anak tidak jadi berangkat ke negeri yang dituju, maka harus mengembalikan uang laki-laki tersebut dua kali lipat.
“Ternyata, lelaki itu memberikan uang sebesar 250 juta rupiah. Namun, orangtua anak itu hanya menerima 100 juta rupiah, yang 150 juta rupiah diambil wanita perantara tersebut. Jadi, jika anak itu tidak bersedia berangkat ke negara lelaki itu, maka orangtuanya harus mengembalikan 500 juta rupiah,” ungkap Arifatul.
Arifatul mengajak berbagai pihak, termasuk kaum ibu-ibu untuk mencegah kembali terjadinya perdagangan orang dengan modus kawin pesanan. (Rif)