
Jakarta,corebusiness.co.id-Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, mengungkap motif kasus ‘kawin pesanan’ yang dialami keluarga miskin di Indonesia.
Menteri PPPA, Arifatul Choiri Fauzi pernah menemui wanita berusia belasan tahun yang menjadi korban ‘kawin pesanan’ di Rumah Aman. Rumah Aman adalah tempat perlindungan sementara yang dirancang untuk memberikan keamanan dan kerahasiaan bagi individu yang menghadapi ancaman atau situasi berbahaya.
Rumah Aman biasanya dikelola oleh lembaga atau organisasi yang fokus pada penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
“Kawin pesanan ini seperti perdagangan orang,” kata Arifatul mengungkap salah satu kasus saat menyampaikan sambutan acara seminar bertema: ‘Menuju Generasi Qur’ani: Perlindungan dan Pemberdayaan Anak dan Perempuan sebagai Bentuk Ketahanan Keluarga’ yang diselenggarakan Majelis Alimat Indonesia (MAI) di Gedung Kementerian PPPA, Jakarta, baru-baru ini.
Arifatul menuturkan, wanita yang ditemui di Rumah Aman tersebut masih berusia 16 tahun, berasal dari keluarga miskin di dari suatu desa terpencil di Indonesia. Ia bertanya kepada wanita yang tidak lagi melanjutkan sekolah di tingkat Sekolah Pendidikan Pertama (SMP).
“Nak, kenapa kamu ada di sini?” tanya Arifatul kepada wanita tersebut.
Anak itu menceritakan bahwa suatu ketika ia dan ibunya didatangi seorang wanita dewasa di rumahnya. Wanita itu dengan sangat ramah membangun obrolan dengan orangtua dari wanita remaja tersebut.
Setelah mengumpulkan cerita dan mengetahui kondisi ekonomi keluarga itu, wanita itu lantas menawarkan jasa akan menikahkan anak tersebut dengan seorang lak-laki dari negara lain.
Lantaran dijanjikan akan diberikan uang dan kehidupan anak itu akan terjamin, orangtua dari anak itu menyetujuinya.
“Akhirnya wanita itu video call dengan laki-laki dari negara lain. Ada pembicaraan, Ibunya setuju. Tak lama kemudian, laki-laki asing itu datang ke rumah si anak tersebut,” terang Arifatul.
Sebagai bentuk persetujuan, ibu dari anak itu menandatangani sebuah kertas perjanjian untuk menyatakan kesediaan anaknya dinikahkan secara adat.
“Ibu itu diberikan uang 100 juta rupiah. 80 juta rupiah digunakan untuk pesta pernikahan. Sisanya 20 juta rupiah diberikan kepada ibunya,” ujar Arifatul.
Anak itu menceritakan, setelah menikah, dia tinggal di hotel. Setiap hari aktivitasnya hanya bersenang-senang saja, seperti rekreasi, kulineran, dan belanja. Namun, setiap pagi dia diantarkan pulang ke rumahnya di desa dengan mobil.
Ternyata, ungkap Arifatul, setelah 3 minggu anak ini di hotel, yang si perantara sedang mengurus paspor dan segala sesuatunya untuk keperluan di negara lain.
“Modus ini mulai terendus. Ketika si anak ini akan berangkat, pihak keimigrasian bandara merasa curiga dengan rencana keberangkatan anak tersebut keluar negeri. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, pihak keimigrasian mengamankan anak tersebut,” tutur Arifatul.
Arifatul merasa prihatin wanita berusia berlasan tahun itu terpaksa menjalani hidup yang seharusnya belum ia lakukan.
“Di 16 tahun ia sudah melakukan hal yang sepatutnya belum ia alami. Dia sudah menjadi istri, tidak melanjutkan sekolah,” katanya.
Belakangan, disamikan Arifatul, diketahui surat perjanjian yang ditandatangani orangtua anak itu, salah satunya berbunyi: jika si anak tidak jadi berangkat ke negeri yang dituju, maka harus mengembalikan uang laki-laki tersebut dua kali lipat.
“Ternyata, lelaki itu memberikan uang sebesar 250 juta rupiah. Namun, orangtua anak itu hanya menerima 100 juta rupiah, yang 150 juta rupiah diambil wanita perantara tersebut. Jadi, jika anak itu tidak bersedia berangkat ke negara lelaki itu, maka orangtuanya harus mengembalikan 500 juta rupiah,” ungkap Arifatul.
Arifatul mengajak berbagai pihak, termasuk kaum ibu-ibu untuk mencegah kembali terjadinya perdagangan orang dengan modus kawin pesanan. (Rif)