160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
750 x 100 PASANG IKLAN

Pemerintah Kasih Sedikit Pemanis untuk Investor CCS

Ilustrasi: Proses Carbon capture storage. Dok: cdm-rubber.com
750 x 100 PASANG IKLAN

Jakarta,corebusiness.co.id- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) minyak dan gas (migas), baik di dalam maupun luar negeri untuk bergabung dalam industri penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS).

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi penyimpanan penangkapan karbon terbesar di Asia Pasifik dengan potensi yang mencapai 572,77 gigaton untuk saline aquifer (akuifer yang airnya asin) dan 4,85 gigaton di depleted reservoir (akuifer yang airnya habis).

“Saat ini dunia selalu berpikir sekarang tentang membangun industrialisasi dengan pendekatan green energy dan green industry. Salah satu diantaranya untuk mewujudkannya adalah bagaimana menangkap carbon capture-nya, CO2-nya,” kata Bahlil pada acara Konvensi dan Pameran Indonesian Petroleum Association (IPA Convex) ke-49 Tahun 2025 di ICE BSD, Tangerang, Rabu (21/5/2025).

Pemerintah, kata Bahlil,  memberikan berbagai kemudahan bagi para investor, guna menciptakan iklim investasi yang lebih menarik dan kondusif bagi pengembangan industri strategis ke depan. Sebagai langkah konkret, regulasi pendukung dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri ESDM (Permen) telah diselesaikan.

750 x 100 PASANG IKLAN

“Aturannya sudah kita buat dan saya tawarkan kepada bapak Ibu semua. Silakan masuk. Lebih cepat, lebih baik. Kita kasih sedikit relaksasi sweetener. Tapi kalau sudah booming baru masuk, sweetener-nya tidak akan sebaik sekarang,” tegas Bahlil.

Sejak tahun 2021 hingga 2024, pemerintah telah menerbitkan 30 izin pemanfaatan data kepada 12 kontraktor untuk mendukung pelaksanaan studi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) di berbagai wilayah Indonesia.

Studi tersebut mencakup 19 lokasi strategis, antara lain Lapangan Arun, Corridor, Sakakemang, Betung, Ramba, Asri Basin, ONWJ, Jatibarang, Gundih, Sukowati, Abadi, CSB, Gemah, South Natuna Sea Block B, East Kalimantan, Refinery Unit V Balikpapan, Blue Ammonia, Donggi Matindok, serta Lapangan Tangguh di Bintuni, Papua.

Tantangan dan Peluang

Melansir artikel Analis Legislatif Ahli Madya Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pembangunan Pusat Analisis Keparlemenan, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI, Anih Sri Suryani, menyatakan, teknologi CCS sudah ada sejak awal tahun 1970-an. Ketika itu sejumlah CO2 ditangkap dari fasilitas pemrosesan gas di Texas, Amerika Serikat kemudian disalurkan ke ladang minyak terdekat dan disuntikkan untuk meningkatkan perolehan minyak.

750 x 100 PASANG IKLAN

CCS atau ada juga yang menyebutnya sebagai Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) diidentifikasi sebagai salah satu teknologi mitigasi pemanasan global yang bertujuan mengurangi pelepasan CO 2 ke atmosfer.

Secara sederhana, tulis Sri, melalui teknologi CCS/ CCUS, CO2 dari bahan bakar fosil maupun dari limbah hasil pembakarannya dapat ditangkap kembali untuk kemudian disimpan di bawah tanah atau di bawah laut.

Melihat potensi yang sedemikian besar sekaligus dalam upaya mencapai NZE pada 2060, Indonesia berambisi mengembangkan teknologi CCS dan membentuk hub CCS. Inisiatif ini tidak hanya akan menampung CO2 domestik, tetapi juga menggali kerja sama internasional khususnya dalam carbon trade. Dengan demikian CCS diakui sebagai ‘license to invest’, khususnya dalam industri beremisi karbon rendah seperti blue ammonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical.

“Dengan demikian penerapan teknologi CCS selain sebagai salah satu upaya pendorong dekarbonisasi sektor industri, sekaligus juga menjadi terobosan bagi perekonomian Indonesia yang membuka peluang industri baru dan menciptakan pasar global untuk produk-produk rendah karbon,” tulisnya.

750 x 100 PASANG IKLAN

Meskipun memiliki potensi besar baik dari segi ekonomi maupun dampak positif bagi upaya pengurangan emisi, menurutnya, pengembangan CCS di Indonesia tidak terlepas dari berbagai tantangan. Terdapat tiga fokus tantangan yang harus dihadapi, yakni aspek teknis, pendanaan, dan regulasi.

Tahapan penting terkait aspek teknis adalah penerimaan, transportasi, injeksi, penyimpanan, monitoring pengukuran, laporan, dan verifikasi. Setiap tahapan teknis tersebut harus sesuai dengan karakteristis lokasi masing-masing dengan menggunakan protokol keteknikan yang baik.  Proses teknologi ini melibatkan serangkaian langkah, dimulai dari capture (penangkapan), transport (pemindahan), hingga storage (penyimpanan).

Menurut laporan di New Scientist, mayoritas proyek CCUS gagal atau menghasilkan penangkapan karbon yang lebih kecil dari yang diharapkan, bahkan lebih menakutkan lagi karena diungkapkan banyak sekali terjadi kecelakaan dalam proses perpipaan CO2 (Syarif, 2024).

Karena itu, diperlukan pengaturan secara teknis dengan standar yang tinggi demi keselamatan dan keamanan operasi. Pilihan teknologi dan strategi yang digunakan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemanfaatan yang ingin diraih oleh Indonesia.

Tantangan berikutnya adalah kebutuhan akan investasi besar. Sebagai contoh, penandatanganan pengembangan CCS antara Pemerintah Indonesia dan ExxonMobil melibatkan investasi sebesar 15 miliar dolar AS. Sementara itu proyek CCS Quest di Kanada membutuhkan 1,35 miliar dolar AS untuk kapasitas 1,2 juta ton CO2 per tahun. Karena itu, perlu dicari peluang pendanaan dari pihak lain.

Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon telah dimungkinkan monetisasi kredit karbon dan pertimbangan potensi ekonomi hasil monetisasi penyelenggaraan CCS/ CCUS.

 

Pemanfaatan dana kemitraan internasional juga bisa menjadi peluang. Misalnya Carbon Capture and Storage Fund dari Australia sebagai dana perwalian mitra di bawah fasilitas kemitraan pembiayaan energi bersih menyediakan dana untuk 13 pengembangan CCS di semua negara berkembang yang menjadi anggota Asian Development Bank, termasuk Indonesia.

 

Selanjutnya fondasi hukum yang kuat sangat diperlukan, terlebih Indonesia adalah pelopor di ASEAN dalam penerapan regulasi CCS. (CB)

 

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
PASANG IKLAN

Tutup Yuk, Subscribe !