
Perkembangan aktivitas PT Paidi Indo Porang saat ini?
Ketika saya mendirikan PT Paidi Indo Porang tahun 2019, produksi porang kami sudah banyak, karyawan pun banyak. Namun, di tahun 2021, harga porang jatuh karena terjadi pandemi Covid-19. Ada kebijakan lockdown dari pemerintah, sehingga kami tidak bisa ekspor porang ke China.
Kemudian, Administrasi Umum Kepabeanan Tiongkok (General Administration of Customs of the People’s Republic of Chin/GACC) mengumumkan pemberitahuan No. 131 Tahun 2022 pada 28 Desember 2022. Pemberitahuan GACC ini membebaskan importasi produk rantai dingin dan nonrantai dingin dari pengujian Covid-19, yang sebelumnya menjadi hambatan ekspor bagi Indonesia. Selain itu, GACC juga mewajibkan produsen produk makanan luar negeri untuk mendaftar ke sistem GACC mulai 1 Januari 2022.
Kesempatan itu “dimanfaatkan” PMA dari China untuk menambah investasi pengadaan mesin-mesin pengolahan porang di Indonesia. Setahun kemudian, banyak bermunculan pabrik pengolahan di Madiun, namun ketika itu terkendala suplai bahan baku porang.
Produksi porang mulai menanjak tinggi tahun 2024 hingga 2025 ini. Bahkan, perkiraan saya permintaan porang semakin tinggi di tahun-tahun berikutnya.
Bagaimana perusahaan Anda bisa mengekspor porang ke China dan negara lainnya?
Kami tidak mengekspor langsung ke China dan negara lain. Produksi porang kami dibeli oleh pabrik atau perusahaan eksportir. Mereka inilah yang mengekspor porang ke negara-negara tujuan.
Standardisasi dalam penentuan harga porang?
Harga porang di setiap daerah berbeda-beda, tergantung viskositas atau kadar kekentalan porang tersebut. Menurut saya, kualitas porang terbaik berasal dari Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, termasuk dari Timur Leste. Mungkin karena tanaman itu dipengaruhi faktor iklim. Kualitas porang kadang tidak ditentukan oleh kadar air, tapi dari viskositas.
Kami menyuplai porang ke buyer yang sudah dipotong-potong di pabrik kami dalam bentuk irisan-irisan tipis. Pabrik saya bisa menampung kapasitas 20 ton porang per hari.
Sayangnya impian saya untuk terus menjalankan dan memajukan bisnis porang saat ini harus “terkubur”. Saya sempat mengajukan pinjaman ke bank untuk menambah mesin pengolahan di pabrik, namun belum disetujui.
Pertimbangan belum disetujui pinjaman modal di perbankan?
Birokrasinya terlalu ribet. Seandainya tahun 2021 saya bisa order mesin untuk kapasitas 80 ton, saya bisa mengantongi profit bersih minimal Rp 2,5 miliar per bulan. Kalau hasil kotornya bisa dua kali lipat. Setelah dipotong biaya operasional, gas, gaji karyawan, dan sebagainya, keuntungan bersih Rp 2,5 miliar per bulan.
Pihak perbankan terlalu subyektif dalam menilai orang yang mengajukan pinjaman modal. Mereka hanya menilai yang penting cash flow (arus pergerakan uang yang masuk dan keluar dalam suatu bisnis atau keuangan pribadi dalam periode waktu tertentu) bagus. Padahal cash flow itu bisa diakalin. Kemudian, ketentuan collateral (jaminan) aset perusahaan, dan berdasarkan kondisi daerah.
Menurut saya, SOP ini sudah jadul, tidak di-upgrade. Bukannya potensinya yang didukung, harusnya didukung proyeksi bisnisnya. Mosok kondisi daerah jadi penilaian perbankan, kan sektor pertanian memang adanya di pelosok desa.