Ahli Hukum Perminyakan, Dr. Kurtubi sepertinya masih belum puas terhadap hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Ketua MK, Jimly Asshiddiqie ketika itu, dalam sidangnya hanya memutuskan untuk membatalkan Pasal 28 ayat 2 dan 3, serta merevisi dua pasal lainnya.
Kurtubi saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam pengujian UU Migas meminta MK agar seluruh pasal dalam UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas, pada 6 Juni 2012. Menurutnya, seluruh pasal dalam UU Migas harus dicabut karena jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi dan merugikan negara secara finansial.
Kurtubi mencontohkan Pasal 1 angka 23 jo Pasal 4 yang menyebutkan pengelolaan Migas diserahkan ke Badan Pelaksana Migas (BP Migas), merupakan wakil pemerintah untuk menandatangani kontrak dengan kontraktor minyak. Sebab, konsekuensi Migas milik negara yang berasal dari perusahaan asing tidak dapat dijual sendiri oleh BP migas, harus melibatkan pihak ketiga.
“Di sini pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang berkontrak. Status pemerintah ‘diturunkan’, yang mengakibatkan kedaulatan kita hilang dan sangat merugikan negara. Ini melanggar konstitusi,” kata Kurtubi, ketika itu.
Pengujian UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas terhadap UUD 1945 bernomor perkara 002/PPU-I/2003, di mana pemohon judicial review adalah Asosiasi Penasihat Hukum dan Hak Azazi Manusia Indonesia (APHI), BPHI, Yayasan 324, Solidaritas Nusa Bangsa, Serikat Pekerja Pertamina, dan Dr. Ir. Panji R Hadinoto yang mewakili Universitas Perjuangan ’45.
Ketika akhirnya MK memutuskan menolak mencabut UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas, Ketua MK Jimly Asshiddiqie menjelaskan revisi Pasal 12 ayat 3, yang berbunyi: “Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi wewenang melakukan usaha eksplorsi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 2”. MK hanya merevisi kata-kata diberi wewenang.
Sementara Pasal 22 ayat 1 yang direvisi MK menyatakan, badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Yang direvisi adalah frasa paling banyak. Namun, MK membatalkan Pasal 28 ayat 2 dan 3, di mana ayat 2 menyatakan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Sedangkan ayat 3 menyebutkan, pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun, Kurtubi hingga saat ini masih mempertentangkan lahirnya UU No.21 Tahun 2001 tentang Migas.
“Sejak era pemerintahan Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Presiden Jokowi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas belum juga dicabut,” lontar Kurtubi yang pernah menjabat Staf Ahli Dewan Komisaris Pertamina tahun 1977-2006 kepada corebusiness.co.id dalam sebuah sesi wawancara di Jakarta, baru-baru ini. Berikut petikannya:
Bagaimana kondisi Migas sebelum diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas?
Untuk penambangan di sektor Migas, sejak tahun 1971 sudah tidak dipakai lagi sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK). Untuk pengelolaan Migas, menggunakan sistem Kontrak Bagi Hasil, yang memastikan penerimaan negara harus lebih besar dibandingkan yang diterima oleh investor. Bagi hasilnya 65 persen untuk negara dan 35 persen untuk investor.
Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan Keputusan hanya merevisi dua pasal dan membatalkan Pasal 28 dari UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas. Anda merasa puas?
Saya meminta pemerintah mencabut UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Undang-undang ini mengakibatkan produksi minyak turun selama 20 tahun. Undang-undang ini mencabut Undang-Undang Migas yang sudah sesuai dengan konstitusi. Setelah undang-undang ini diberlakukan, tak lama kemudian berdampak investasi eksplorasi Migas turun, produksi turun dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, terus merosot produksi Migas hingga 20 tahun.
Pengelolaan Migas sejak diberlakukan UU No.22 Tahun 2001 sangat merugikan negara, karena berdampak penurunan investasi untuk kegiatan eksplorasi Migas. Undang-undang ini ada campur tangan IMF, namun konseptor undang-undang ini dari pejabat Pemerintah Indonesia.
Sampai sekarang produksi Migas kita di bawah 600 ribu barel per hari (bph). Sebelum undang-undang ini diberlakukan, produksi Migas kita sekitar 1,7 juta bph. Ketika itu Indonesia menjadi salah satu negara eksportir LNG terbesar di dunia, ketika sektor Migas diatur berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Imbasnya, negara harus impor BBM dan LPG dalam jumlah besar, sebagai akibat UU Migas ini.
Apa yang harus dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001?
Harusnya dicabut! Saya sudah ratusan kali bicara di media massa dan media sosial soal ini. Saya pun bertanya, Presiden Jokowi apakah pura-pura tidak tahu atau memang tidak mengerti tentang industri Migas, atau ada kepentingan tertentu, sehingga tidak mau mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang jelas-jelas merugikan negara.
DPR RI dalam empat periode sudah melakukan sidang memperbaiki UU Migas ini, namun gagal menghasilkan UU Migas baru sampai detik ini. Saya menduga ada kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin UU No.22 Tahun 2001 dipertahankan.
Sebelum muncul Undang-Undang No.22 Tahun 2001, kuasa pertambangan diserahkan ke perusahaan negara, namanya Pertamina. Ketika itu produksi Migas tinggi, Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia, APBN sebesar 80 persen disumbangkan dari Migas, pertumbuhan ekonomi tumbuh 7 persen tahun 1975, lalu naik menjadi 8,9 persen di tahun 1980. Ketika itu pertumbuhan ekonomi tinggi saat produksi Migas tinggi.
Itu fakta yang tidak bisa dibantah. Jadi, pengelolaan sumber daya alam yang benar adalah harus sesuai Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Di mana, sumber daya alam itu dikuasai negara, bukan milik perorangan, bukan milik investor, dan juga bukan milik penguasa. Sumber daya alam adalah milik kita bersama.
Sumber daya alam yang ada perut bumi Indonesia boleh dikelola oleh siapapun, namun sistemnya menggunakan kontrak bagi hasil. Bukan dengan sistem sekarang ini, yakni pemerintah memberikan IUP atau KK, seperti berlaku di sektor mineral dan butubara (Minerba). Karena, Undang-Undang Minerba masih menggunakan sistem undang-undang zaman Kolonial Belanda. Undang-Undang Minerba ini tidak ada ketentuan bahwa pengelolaan Minerba untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Bagaimana pandangan Anda aktivitas penambangan, baik ekplorasi maupun eksploitasi membutuhkan biaya besar. Sementara negara kadang mempunyai keterbatasan anggaran untuk memproduksi Migas?
Sistem yang sesuai konstitusi yang benar, pengelolaan Migas menggunakan kontrak bagi hasil. Penambangan Migas itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bagian negara dari hasil keuntungan penambangan Migas harus lebih besar dari keuntungan yang didapat investor. Standarnya 65 persen untuk negara dan 35 persen untuk investor.
Belum berhenti sampai di situ. Pada saat harga minyak dunia naik, maka pajak penjualannya pun dinaikkan, namanya Windfall Tax (Pajak tambahan yang dikenakan tertentu ketika suatu perusahaan memperoleh keuntungan tinggi secara ‘tidak normal’). Jadi, selain negara mendapatkan bagian 65 persen, ketika harga minyak dunia naik, ditambah ketentuan Windfall Tax, sehingga menjadi 85 persen untuk negara, dan 15 persen untuk investor, setelah dipotong cost recovery.
Sistem ini yang benar, pengelolaan SDA menerapkan Pasal 33 UUD 1945. Praktik di bidang pertambangan yang benar, ketika Pertamina dikelola berdasarkan Undang-Undang Nomor 44/PRP Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Kedua undang-undang ini yang melahirkan Pertamina sebagai perusahaan negara dibentuk berdasarkan undang-undang dan diberikan wewenang mengeloa sektor Migas.
Sedangkan pihak investor yang bergerak di bidang Migas, dipersilakan berkontrak bagi hasil keuntungan dengan Pertamina. Sistem bagi hasilnya, 65 persen untuk Pertamina dan 35 persen untuk investor. Ketika itu, produksi Migas dari 200 ribu barel per hari menjadi 1,7 juta barel per hari. (Syarif)