Bagaimana kondisi Migas sebelum diterbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas?
Untuk penambangan di sektor Migas, sejak tahun 1971 sudah tidak dipakai lagi sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK). Untuk pengelolaan Migas, menggunakan sistem Kontrak Bagi Hasil, yang memastikan penerimaan negara harus lebih besar dibandingkan yang diterima oleh investor. Bagi hasilnya 65 persen untuk negara dan 35 persen untuk investor.
Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan Keputusan hanya merevisi dua pasal dan membatalkan Pasal 28 dari UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas. Anda merasa puas?
Saya meminta pemerintah mencabut UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Undang-undang ini mengakibatkan produksi minyak turun selama 20 tahun. Undang-undang ini mencabut Undang-Undang Migas yang sudah sesuai dengan konstitusi. Setelah undang-undang ini diberlakukan, tak lama kemudian berdampak investasi eksplorasi Migas turun, produksi turun dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, terus merosot produksi Migas hingga 20 tahun.
Pengelolaan Migas sejak diberlakukan UU No.22 Tahun 2001 sangat merugikan negara, karena berdampak penurunan investasi untuk kegiatan eksplorasi Migas. Undang-undang ini ada campur tangan IMF, namun konseptor undang-undang ini dari pejabat Pemerintah Indonesia.
Sampai sekarang produksi Migas kita di bawah 600 ribu barel per hari (bph). Sebelum undang-undang ini diberlakukan, produksi Migas kita sekitar 1,7 juta bph. Ketika itu Indonesia menjadi salah satu negara eksportir LNG terbesar di dunia, ketika sektor Migas diatur berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Imbasnya, negara harus impor BBM dan LPG dalam jumlah besar, sebagai akibat UU Migas ini.