
Rata-rata produksi bijih bauksit dari pelaku hulu per tahun?
Jika pemegang IUP mempunyai RKAB, katakan 15 RKAB. Kemudian, satu pemegang IUP yang mempunyai RKAB diberikan kuota produksi 2 juta ton oleh Kementerian ESDM, artinya produksinya sudah 30 juta ton per tahun. Sementaranya penyerapannya hanya sekitar 18 juta ton per tahun.
Menurut pandangan Anda, faktor perbankan atau investor kurang bergairah meminjamkan kredit pendanaan atau menanamkan investasi untuk pembangunan smelter?
Saya kira perusahaan asing, khususnya dari China mulai berhati-hati. Tidak seperti dulu di awal-awal hilirisasi berjalan di Indonesia. Karena apa? Masalahnya kan dibuat oleh pemerintah kita sendiri. Dalam membuat ketetapan atau kepastian aturan-aturan bermain harus berjalan seiring. Tidak bisa tiba-tiba ada aturan baru di sektor industri pengolahan bijih bauksit.
Para investor tentu sangat berhati-hati. Maka, alotnya pembicaraan dengan investor menyakut banyak hal. Saya berharap, dengan adanya Danantara, mengapa tidak kita saja yang membiayai pembangunan smelter. Jika kita yang membiayai sendiri, maka kita sendiri yang menerima manfaatnya. Apakah nantinya smelter itu dikelola BUMN atau kerja sama pihak swasta nasional dengan BUMN.
Di China pembangunan smelter juga diambil alih oleh BUMN pemerintahnya, agar negaranya itu bisa berjaya. Ngapain diambil oleh asing? Lagi pula pihak asing mempunyai ketentuan, kepemilikannya harus mayoritas. Jika asing mayoritas dalam pemilikan dan pengelolaan, kita hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Kita sekarang ngemis-ngemis kepada investor, nanti investor itu minta macam-macam. Tidak disetujui, kita butuh investasi, disetujui lebih banyak menguntungkan mereka.
Langkah yang sedang ditempuh ABI untuk meminimalisir kendala yang dihadapi pelaku penambang bijih bauksit?
ABI sudah berkirim surat ke pemerintah tentang ketentuan Dana Hasil Ekspor (DHE) untuk komoditas bauksit. Kemudian, ABI juga sudah berikirim surat ke pemerintah terkait peraturan tentang stok bijih bauksit dan lainnya, namun belum ada tanggapan.
Mudah-mudahan, dari pernyataan Dirjen Minerba, Bapak Tri Winarno di Komisi XII DPR RI mengenai mandeknya pembangunan tujuh proyek smelter bauksit di Indonesia, karena kesulitan pendanaan, bisa terealisir. Karena begini, jumlah smelter juga nantinya tidak boleh terlalu banyak. Semua bermain di smelter, itu juga tidak benar.
Jadi, jumlah smelter harus dihitung berdasarkan rasio kapasitas produksi dari penambang bijih bauksit. Misalnya, produksi bijih bauksit 40 juta ton per tahun, mungkin dibutuhkan antara enam sampai tujuh smelter di Indonesia. Karena, muara di atasnya jangan sampai kebanyakan smelter untuk memproduksi alumina, tapi harus diimbangi supply bijih bauksit untuk diolah menjadi aluminium.
Maka, harus diestimasi antara kebutuhan bijih bauksit untuk diproses menjadi alumina dan aluminium. Sisanya untuk kebutuhan ekspor. Jadi, jangan kita berpikiran ekspor alumina saja, tapi harus bisa ekspor aluminium. Supaya Indonesia menjadi negara kuat. (CB)