160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
750 x 100 PASANG IKLAN

Ketua ABI Ronald Sulistyanto Berharap Danantara Masuk ke Industri Bauksit

Ketua Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), Ronald Sulistyanto. Foto: Istw
750 x 100 PASANG IKLAN

Ketua Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), Ronald Sulistyanto menyambut diresmikannya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Dia berharap, Danantara masuk ke sektor industri bauksit dari hulu hingga hilir. 

Larangan ekspor bauksit dalam bentuk raw material sudah diberlakukan di era Presiden Joko Widodo pada Juni 2023. Bauksit diizinkan diekspor minimal dalam bentuk produk setengah jadi, semisal alumina. Sehingga mempunyai added value terhadap perekonomian dari bijih bauksit.

Saat ini smelter yang sudah beroperasi mengolah bijih bauksit di Indonesia adalah PT Indonesia Chemical Alumina (ICA), PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (ekspansi), PT Bintan Alumina Indonesia. Untuk lebih banyak menyerap bijih bauksit dari penambang hulu, pemerintah sedang mengupayakan penanambahan pembangunan smelter.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, saat ini sedang dibangun tambahan tujuh smelter. Hanya saja, dalam proses pembangunan tujuh smelter tersebut mengalami kendala pembiayaan. Sehingga masih berjalan di tempat.

750 x 100 PASANG IKLAN

“Untuk bauksit ini dari tujuh smelter yang direncanakan keseluruhan, belum terbangun Bapak-Ibu sekalian. Dengan mayoritas kendala masih proses pencarian investor untuk pendanaan,” ungkap  Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba), Tri Winarno dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (19/2/2025).

Tri Winarno menyampaikan, pembangunan tujuh proyek smelter bauksit di Indonesia hingga kini belum mempunyai progres yang signifikan. Dia menyebut, kondisi ini terjadi lantaran mayoritas pelaku usaha menemui kendala dalam proses pencarian investor untuk mendanai proyek tersebut.

Disebutkan, tujuh smelter bauksit yang dimaksud, pertama,  Smelter PT Dinamika Sejahtera Mandiri yang berlokasi di Sanggau, Kalimantan Barat. Dengan kapasitas input 5,2 juta ton per tahun dan output 2 juta ton. Proyek ini baru mencapai progres 58,55 persen dan masih mencari investor untuk pendanaan.

Kedua, Smelter PT Laman Mining di Ketapang, Kalimantan Barat. Kapasitas input 2,85 juta ton per tahun dan output 1 juta ton SGA. Progresnya baru 32,39 persen, karena masih mencari investor untuk pendanaan.

750 x 100 PASANG IKLAN

Ketiga, Smelter PT Kalbar Bumi Perkasa di Sanggau, menargetkan kapasitas input 4,2 juta ton dan output 1,5 juta ton SGA. Proyek ini terkendala lantaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut.

Keempat, Smelter PT Parenggean Makmur Sejahtera di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah target kapasitas input 3 juta ton CGA dan kapasitas output 986.215 ton. Kendala proses pencarian investor.

Kelima, Smelter PT Persada Pratama Cemerlang, Sanggau Kalbar, kapasitas input 2,5 juta ton SGA dan kapasitas output 1 juta ton. Kendala proses pencarian investor.

Keenam, Smelter PT Quality Sukses Sejahtera di Pontianak Kalimantan Bara kapasitas input 3,5 juta ton SGA dan kapasitas output 1,5 juta ton. Kendala proses pencarian investor.

Ketujuh, Smelter PT Sumber Bumi Marau di Ketapang Kalimantan Barat kapasitas input 2,6 juta ton SGA dan kapasitas output 1 juta ton. Kendala juga masih pada proses pencarian investor.

750 x 100 PASANG IKLAN

Ketua Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), Ronald Sulistyanto mengatakan, potensi cadangan bijih bauksit Indonesia 1,3 miliar metrik ton, namun penyerapannya ke smelter sekitar 18 juta ton per tahun.

Bijih bauksit. Foto: Dok. ESDM

 Tentu saja masih minimnya smelter ini memberikan dampak bagi para penambang bijih bauksit. Dengan kata lain, bauksitnya diproduksi, tapi tidak bisa dijual ke smelter. Kondisinya saat ini, kapasitas smelter yang ada tidak bisa menampung hasil produksi penambang bauksit. Sehingga, banyak penambang bauksit terpaksa menunda memproduksi bauksit,” tutur Ronald kepada corebusiness.co.id, Rabu (26/2/2025).

Menurutnya, penundaan produksi dari pelaku penambang, kondisi ini sebenarnya sangat membahayakan. Perusahaan pertambangan bisa kolaps. Di sisi lain, jika penambang menjual bijih bauksit, harga pembelian oleh smelter tidak berdasarkan Harga Patokan Mineral (HPM) yang dikeluarkan setiap bulan oleh Kementerian ESDM.

“Sehingga menimbulkan bisnis yang tidak sehat. Karena, smelter juga menerapkan harga ganda,” ungkapnya.

Ronald lantas menjabarkan masalah-masalah yang dihadapi pelaku penambang bijih bauksit dalam sesi wawancara dengan Syarifudin dari corebusiness.co.id. Berikut petikannya:

Anda menyatakan pihak smelter menerapkan harga ganda. Bisa dijelaskan?

Artinya begini, pemerintah sudah menetapkan Harga Patokan Mineral (HPM) bauksit. Tapi, tidak ditaati oleh smelter. Pihak smelter bisa menentukan sendiri besaran harga pembelian bijih bauksit dari pelaku hulu. Sehinga, terjadi transaksi jual beli tidak sehat. Dalam kondisi seperti ini, maaf saja, mungkin ada anggota ABI akhirnya berpikiran agar perusahaannya bisa survive, dia menjual bijih bauksitnya di bawah tangan.

Saya selaku Ketua ABI, berusaha keras untuk melarang anggota untuk bermain di bawah tangan. Kita harus kompak untuk menghadapi perilaku smelter. Tujuannya, pelaku hulu bisa mendapatkan harga cukup memadai. Kita juga tidak ingin mendapatkan keuntungan paling besar. Tidak seperti itu. Minimal, kita bisa hidup dari hitungan biaya ongkos produksi dengan harga jual.

Sekarang kondisinya antara biaya produksi dengan harga jual jauh di bawah HPM. Sehingga kualitas penambang bijih bauksit kita bukannya semakin meningkat, malah menjadi menurun.

Persentase disparitas penjualan ke smelter berdasarkan ketentuan HPM bauksit?

Kira-kira perbedaannya dengan HPM bauksit sekitar 40 persen. Karena harganya fluktuatif. Misalnya, harga alumina saat ini sedang bagus. Karena kita berpatokan pada harga di bursa London Metal Exchange (LME). Sehingga tidak adil jika smelter mengeruk keuntungan banyak, namun menekan para penambang bijih bauksit.

Penambang bauksit yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) hampir 70 perusahaan. Tapi, tidak semua pemegang IUP mendapatkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Kenapa? Karena, dia tidak mau produksi dulu. Karena, dia juga harus menggerakkan orang, sementara penjualan bijih bauksitnya masih terkatung-katung, harga pembelian tidak jelas. Jadi, bukannya untung malah buntung.

Jika kondisi seperti ini didiamkan terus, para penambang ini akan kesulitan pada saat ingin starup lagi. Sebab, membutuhkan biaya cukup besar untuk investasi, washing plant-nya akan macet, karatan, dan sebagainya. Kalaupun dipelihara membutuhkan biaya besar.

Jadi, masalah ini harus kita bahas bersama. Saya sudah menyampaikan masalah ini ke pemerintah, namun belum mendapat tanggapan yang serius. Kita harus bersama-sama mencari solusi. Pertama, penambang harus tetap hidup, bagaimana caranya HPM bauksit benar-benar dijalankan oleh smelter.

Kedua, pembangunan smelter jika terkendala biaya, pemerintah harusnya turun tangan. Saya sangat gembira Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), pada 24 Februari 2025. Karena itu,  yang berkaitan dengan nikel, bauksit, dan sebagainya perlu kita angkat untuk menjadi Soko Guru masa depan Indonesia.

Cadangan bauksit dunia

Sebab, pekerjaan yang kita lakukan hari ini tidak langsung kita rasakan hari ini. Mungkin, lima tahun ke depan setelah hilirisasi berhasil, maka produksi kita sudah jauh lebih baik, harganya jauh lebih bagus, apalagi bijih bauksit bisa diproduksi sampai menjadi aluminium. Jika aluminium bisa diproduksi 2 juta sampai 3 juta ton, maka sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jadi, kita harus mempunyai target pengolahan bijih bauksit tidak hanya menjadi alumina, tapi juga menjadi aluminium.

Kondisi masih minimnya jumlah smelter yang sudah berproduksi bisa menjadi bargaining pelaku hilir membeli bijih bauksit dari pelaku hulu?

Saya tidak secara eksplisit menyatakan seperti itu. Namun kenyataannya, mereka sudah membaca situasi tersebut. Ini kan teori ekonomi, jika supply banyak, sementara demand-nya bisa diatur, mereka juga bisa memainkan supply. Sebaliknya, jika demand banyak, supply sedikit, seperti kondisi kebutuhan bijih nikel saat ini, mereka membeli sesuai ketentuan HPM. Jumlah smelter pun cukup banyak, sehingga kebutuhan bijih nikel pun banyak.

Kondisi di sektor bauksit terbalik. Bahan bakunya ada sekitar 1,3 miliar metrik ton. Jika output-nya mencapai 6 juta ton, jika dikali tiga produksinya 18 juta ton per tahun.

Rata-rata produksi bijih bauksit dari pelaku hulu per tahun?

Jika pemegang IUP mempunyai RKAB, katakan 15 RKAB. Kemudian, satu pemegang IUP yang mempunyai RKAB diberikan kuota produksi 2 juta ton oleh Kementerian ESDM, artinya produksinya sudah 30 juta ton per tahun. Sementaranya penyerapannya hanya sekitar 18 juta ton per tahun.

Menurut pandangan Anda, faktor perbankan atau investor kurang  bergairah meminjamkan kredit pendanaan atau menanamkan investasi untuk pembangunan smelter?

Saya kira perusahaan asing, khususnya dari China mulai berhati-hati. Tidak seperti dulu di awal-awal hilirisasi berjalan di Indonesia. Karena apa? Masalahnya kan dibuat oleh pemerintah kita sendiri. Dalam membuat ketetapan atau kepastian aturan-aturan bermain harus berjalan seiring. Tidak bisa tiba-tiba ada aturan baru di sektor industri pengolahan bijih bauksit.

Para investor tentu sangat berhati-hati. Maka, alotnya pembicaraan dengan investor menyakut banyak hal. Saya berharap, dengan adanya Danantara, mengapa tidak kita saja yang membiayai pembangunan smelter. Jika kita yang membiayai sendiri, maka kita sendiri yang menerima manfaatnya. Apakah nantinya smelter itu dikelola BUMN atau kerja sama pihak swasta nasional dengan BUMN.

Di China pembangunan smelter juga diambil alih oleh BUMN pemerintahnya, agar negaranya itu bisa berjaya. Ngapain diambil oleh asing? Lagi pula pihak asing mempunyai ketentuan, kepemilikannya harus mayoritas. Jika asing mayoritas dalam pemilikan dan pengelolaan, kita hanya menjadi penonton di negeri sendiri.

Kita sekarang ngemis-ngemis kepada investor, nanti investor itu minta macam-macam. Tidak disetujui, kita butuh investasi, disetujui lebih banyak menguntungkan mereka.

Langkah yang sedang ditempuh ABI untuk meminimalisir kendala yang dihadapi pelaku penambang bijih bauksit?

ABI sudah berkirim surat ke pemerintah tentang ketentuan Dana Hasil Ekspor (DHE) untuk komoditas bauksit. Kemudian, ABI juga sudah berikirim surat ke pemerintah terkait peraturan tentang stok bijih bauksit dan lainnya, namun belum ada tanggapan.

Ronald Sulistyanto saat menjadi pembicara di salah satu forum diskusi. Foto: Istw

Mudah-mudahan, dari pernyataan Dirjen Minerba, Bapak Tri Winarno di Komisi XII DPR RI mengenai mandeknya pembangunan tujuh proyek smelter bauksit di Indonesia, karena kesulitan pendanaan, bisa terealisir. Karena begini, jumlah smelter juga nantinya tidak boleh terlalu banyak. Semua bermain di smelter, itu juga tidak benar.

Jadi, jumlah smelter harus dihitung berdasarkan rasio kapasitas produksi dari penambang bijih bauksit. Misalnya, produksi bijih bauksit 40 juta ton per tahun, mungkin dibutuhkan antara enam sampai tujuh smelter di Indonesia. Karena, muara di atasnya jangan sampai kebanyakan smelter untuk memproduksi alumina, tapi harus diimbangi supply bijih bauksit untuk diolah menjadi aluminium.

Maka, harus diestimasi antara kebutuhan bijih bauksit untuk diproses menjadi alumina dan aluminium. Sisanya untuk kebutuhan ekspor. Jadi, jangan kita berpikiran ekspor alumina saja, tapi harus bisa ekspor aluminium. Supaya Indonesia menjadi negara kuat. (CB)

 

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

Promo Tutup Yuk, Subscribe !