
Saya selaku Ketua ABI, berusaha keras untuk melarang anggota untuk bermain di bawah tangan. Kita harus kompak untuk menghadapi perilaku smelter. Tujuannya, pelaku hulu bisa mendapatkan harga cukup memadai. Kita juga tidak ingin mendapatkan keuntungan paling besar. Tidak seperti itu. Minimal, kita bisa hidup dari hitungan biaya ongkos produksi dengan harga jual.
Sekarang kondisinya antara biaya produksi dengan harga jual jauh di bawah HPM. Sehingga kualitas penambang bijih bauksit kita bukannya semakin meningkat, malah menjadi menurun.
Persentase disparitas penjualan ke smelter berdasarkan ketentuan HPM bauksit?
Kira-kira perbedaannya dengan HPM bauksit sekitar 40 persen. Karena harganya fluktuatif. Misalnya, harga alumina saat ini sedang bagus. Karena kita berpatokan pada harga di bursa London Metal Exchange (LME). Sehingga tidak adil jika smelter mengeruk keuntungan banyak, namun menekan para penambang bijih bauksit.
Penambang bauksit yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) hampir 70 perusahaan. Tapi, tidak semua pemegang IUP mendapatkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Kenapa? Karena, dia tidak mau produksi dulu. Karena, dia juga harus menggerakkan orang, sementara penjualan bijih bauksitnya masih terkatung-katung, harga pembelian tidak jelas. Jadi, bukannya untung malah buntung.
Jika kondisi seperti ini didiamkan terus, para penambang ini akan kesulitan pada saat ingin starup lagi. Sebab, membutuhkan biaya cukup besar untuk investasi, washing plant-nya akan macet, karatan, dan sebagainya. Kalaupun dipelihara membutuhkan biaya besar.
Jadi, masalah ini harus kita bahas bersama. Saya sudah menyampaikan masalah ini ke pemerintah, namun belum mendapat tanggapan yang serius. Kita harus bersama-sama mencari solusi. Pertama, penambang harus tetap hidup, bagaimana caranya HPM bauksit benar-benar dijalankan oleh smelter.
Kedua, pembangunan smelter jika terkendala biaya, pemerintah harusnya turun tangan. Saya sangat gembira Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), pada 24 Februari 2025. Karena itu, yang berkaitan dengan nikel, bauksit, dan sebagainya perlu kita angkat untuk menjadi Soko Guru masa depan Indonesia.
Sebab, pekerjaan yang kita lakukan hari ini tidak langsung kita rasakan hari ini. Mungkin, lima tahun ke depan setelah hilirisasi berhasil, maka produksi kita sudah jauh lebih baik, harganya jauh lebih bagus, apalagi bijih bauksit bisa diproduksi sampai menjadi aluminium. Jika aluminium bisa diproduksi 2 juta sampai 3 juta ton, maka sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jadi, kita harus mempunyai target pengolahan bijih bauksit tidak hanya menjadi alumina, tapi juga menjadi aluminium.
Kondisi masih minimnya jumlah smelter yang sudah berproduksi bisa menjadi bargaining pelaku hilir membeli bijih bauksit dari pelaku hulu?
Saya tidak secara eksplisit menyatakan seperti itu. Namun kenyataannya, mereka sudah membaca situasi tersebut. Ini kan teori ekonomi, jika supply banyak, sementara demand-nya bisa diatur, mereka juga bisa memainkan supply. Sebaliknya, jika demand banyak, supply sedikit, seperti kondisi kebutuhan bijih nikel saat ini, mereka membeli sesuai ketentuan HPM. Jumlah smelter pun cukup banyak, sehingga kebutuhan bijih nikel pun banyak.
Kondisi di sektor bauksit terbalik. Bahan bakunya ada sekitar 1,3 miliar metrik ton. Jika output-nya mencapai 6 juta ton, jika dikali tiga produksinya 18 juta ton per tahun.