
ANGGOTA Komisi IV dan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI periode 2024-2029, Firman Soebagyo melempar wacana Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) digabung ke dalam Kementerian Kordinator Bidang Pangan (Kemenko Pangan). Menurutnya, penggabungan kedua badan ini untuk membenahi tumpang tindih kebijakan di sektor pangan.
Sementara Kementerian Pertanian, kata Firman Soebagyo, fokus di sektor hulu dalam upaya meningkatkan produksi padi dan beras sebanyak-banyaknya.
“Menteri Pertanian jangan lagi ikut campur mengurusi pasar, yang menjadi tanggung jawab Menteri Perdagangan,” kata Firman Soebagyo.
Ia menyoroti kekisruhan pengelolaan dan tata niaga di industri perberasan yang masih terjadi hingga saat ini, karena adanya overlapping kebijakan. Karena itu, ia menyarankan masing-masing kementerian dan lembaga kembali ke khittahnya.
Mengulik lebih jauh wacana penggabungan Bulog dan Bapanas ke Kemenko Pangan, corebusiness.co.id mewawancarai legislator dari Fraksi Golkar tersebut. Berikut petikannya:
Sebagai anggota Komisi IV DPR RI, bagaimana Anda meyoroti gonjang-ganjing industri perberasan nasional saat ini?
Saya ingin menyampaikan terlebih dulu bahwa negara mempunyai regulasi dan aturan yang dibuat untuk semua pihak, baik untuk rakyat, stakeholders, yang bertujuan menciptakan good and clean governance. Jika regulasi dan aturan dibuat namun tidak merespon kondisi yang dihadapi masyarakat, ya apa artinya ketentuan tersebut. Artinya, ketentuan itu dibuat harus memperhatikan kaidah-kaidah hidup yang ada di masyarakat.
Bicara perberasan di Indonesia, di situ ada keterlibatan para pelaku usaha yang berlangsung sudah cukup lama. Sebagai warga negara, usaha mereka tidak boleh dimatikan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Justru pemerintah harus melindungi serta menata bisnis perberasan di Indonesia berazaskan keadilan. Jadi, kebijakan yang dibuat pemerintah bukan hanya sepihak atau dari kacamata pemerintah saja.
Terkait munculnya gonjang-ganjing industri perberasan ini, muncul pertanyaan, apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah secara maksimal sudah disosialisasikan atau dikomunikasikan dengan para pelaku usaha di industri perberasan, baik pelaku penggilingan padi, distributor, dan pedagang beras.
Misalnya, ada informasi yang mengatakan bahwa jumlah penggilingan padi sudah over. Jika kondisinya benar seperti itu, tentunya tugas dari pemerintah untuk membenahi industri penggilingan padi. Jika penggilingan padi itu tumbuh dan berkembang, maka Kementerian Pertanian harus mengimbangi dengan memacu peningkatan produksi padi.
Kondisi yang terjadi saat ini, industri penggilingan padi berkembang, namun industri perberasan tidak di-support maksimal. Atau belum maksimal dalam pengelolaan sektor pertanian yang berkelanjutan, dan benar-benar mendapatkan hasil produksi padi yang maksimal.
Indonesia sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, dan mayoritas bergerak di sektor pertanian, namun hingga saat ini belum bisa swasembada beras. Artinya, masih ada kelemahan-kelemahan dari sisi produksi padi. Siapa yang bertanggung jawab dalam urusan peningkatan produksi padi, ya Kementerian Pertanian.
Karena itu, Kementerian Pertanian harus menata sistem produksi padi. Setelah itu, diseimbangkan dengan jumlah penggilingan padi. Bukan langsung dimatikan begitu saja aktivitas penggilingan padi tersebut.
Kondisi ini seperti terjadi dalam sistem pendistribusian pupuk, yang secara tiba-tiba regulasinya diubah. Tetapi pemerintah tidak memperhatikan pelaku usaha pupuk yang sudah exsisting puluhan tahun memberikan kontribusi di sektor pupuk dan menyelamatkan uang negara. Karena banyak KUD yang menyalurkan pupuk bersubidi dari pemerintah mengalami gagal bayar.
Dari sisi mana saja pembenahan harus dilakukan pemerintah?
Ke depan, pertama, yang harus dilakukan pemerintah adalah perbaikan kelembagaan, harus dikembalikan kepada tupoksinya masing-masing. Kementerian Pertanian harus konsentrasi dalam masalah produksi padi, dan menghasilkan kualitas padi dan beras yang bagus. Setelah itu, peran Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai buffer stock dan penyangga harga beras, sementara regulatornya ada di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Saya melihat, saat ini terlalu banyak kelembagaan yang mengatur perberasan, sehingga terjadi tumpang tindih yang tidak karuan. Alih-alih para pejabat di kementerian dan lembaga mau berargumentasi dan menerima masukan dari luar, tapi malah menghindar. Yang terjadi saat ini adalah ingin menang sendiri. Jadi, ada pihak yang merasa paling berkuasa, ada pihak yang mengatakan bahwa kebijakan yang dijalankan atas perintah Presiden, ada pula pihak yang tidak berani bicara karena takut menyampaikan kebenaran akan dicopot atau digeser jabatannya. Akhirnya kondisi yang terjadi seperti saat ini. Ini fakta yang terjadi saat ini.
Pemerintah mewacanakan akan menghilangkan kategori beras. Nanti, hanya ada kategori beras medium dan beras khusus, tidak ada lagi kategori beras premium. Pandangan Anda?
Jika hanya ditentukan kategori beras medium, bagi masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi beras premium apakah mereka bisa atau dipaksa mengkonsumsi beras medium. Jika dipaksa, berarti pemerintah telah melanggar hak asasi masyarakat. Sebagai warga negara, kita berhak mendapatkan jenis-jenis beras berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Jika pemerintah menentukan kategori beras medium saja, bisa-bisa dibuka keran impor untuk pengadaan beras premium untuk konsumsi kelangan tertentu. Jika keran impor beras premium dibuka, dikhawatirkan rembes ke pasar sehingga mengganggu tata niaga beras medium.
Sikap Anda terkait penghapusan kategori beras premium?
Menurut saya, jangan banyak membuat regulasi. Kita ambil contoh frasa ‘oplosan’ beras yang muncul saat ini, sebenarnya dalam sejarah tidak pernah ada. Dari zaman ke zaman yang ada di industri perberasan adalah terminologi ‘mix’. Istilah ‘oplosan’ ini muncul setelah Menteri Pertanian, Amran Sulaiman melakukan operasi di pasar-pasar. Jadi, sikap saya tidak sepakat dengan kebijakan mengubah great-great beras yang sudah ada saat ini.
Menyoal adanya perbuatan mengoplos beras untuk Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), pertanyaannya adalah beras SPHP yang ditujuan ke masyarakat dengan harga murah ini berasal dari mana? Pengadaan beras SPHP ini ada dua jenis, yaitu beras impor dan beras dari dalam negeri.
Jika masyarakat diberikan beras impor, maka yang terbiasa mengkonsumsi beras lokal, beras SPHP dari beras impor bisa ditukar di pasar. Atau, pedagang menyiasati mencampur beras impor dengan beras lokal yang kualitasnya lebih tinggi, supaya beras itu ketika dimasak menjadi pulen. Karena masyarakat terbiasa mengkonsumsi nasi yang pulen. Lain halnya untuk pedagang nasi goreng, mereka menggunakan beras agak pera.
Situasi seperti itu harus dipahami oleh pejabat di pemerintahan. Jangan hanya melakukan operasi dan operasi pasar, tapi tidak mengetahui kultur masyarakat di lapangan. Kalau pertemuan-pertemuan pejabat pemerintah dengan petani itu kan hanya seremonial yang sifatnya sesaat, tentunya tidak bisa dijadikan pedoman. Yang bisa dijadikan pedoman adalah suara rakyat yang disampaikan ke anggota DPR yang kasak-kusuk turun langsung ke lapangan.
Jika pemerintah keukeuh menetapkan hanya ada beras medium dan khusus, apa payung hukumnya?
Kalau saya tidak setuju. Pertimbangannya, bagaimana dengan tamu-tamu di hotel berbintang yang terbiasa makan beras premium. Selain itu, penggilingan padi di Indonesia juga sudah banyak yang bisa menampung untuk memproduksi beras premium. Saya melihat sendiri di pasar-pasar tradisional di Blora, Pati, beras premium kualitasnya bagus, hanya saja harganya sekarang ini dipatok Rp 14.500 per kilogram.
Sebaiknya ada transformasi, Menteri Pertanian tetap konsentrasi sebagai produsen, dan bertanggung jawab terhadap peningkatan produksi padi. Menteri Pertanian jangan lagi ikut campur urusan pasar, karena pasar menjadi tanggung jawab Menteri Perdagangan. Hanya di Indonesia Menteri Pertanian ikut campur mengurus pasar.
Kemudian, Bulog diperkuat dengan mengembalikan tupoksinya sebagai buffer stock dan penyangga harga beras. Bulog juga harus dikembalikan status kelembagaannya, bukan sebagai Perum.
Jika pemerintah berani menggabungkan Kemenko Bidang Pangan dan Bulog. Jadi, Menko Pangan sebagai pembuat regulasi, misalnya terkait standardisasi makanan bergizi empat sehat lima sempurna, standardisasi dan kebijakan inovatif untuk sektor pangan.
Dengan adanya penggabungan Kemenko Pangan dan Bulog, maka Bapanas juga bisa dilebur ke dalam satu kementerian ini. Karena untuk kepentingan nasional bahwa sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab negara, maka posisinya adalah Menteri Pertanian fokus mengurusi hulu dalam memproduksi padi dan beras sebanyak-banyaknya, jangan ikut campur urusan pasar. Sementara terkait pangan menjadi tanggung jawab Menko Pangan yang memberi kewenangan kepada Kepala Bulog untuk mendistribusikan pangan.
Untuk lebih efektif dan efisien, semua penggilingan padi dijadikan mitra kerja Bulog untuk mendistribusikan beras-beras program pemerintah. Saya juga mengusulkan, agar masyarakat juga lebih bertanggung jawab, hendaknya program bantuan pangan dari pemerintah dihilangkan saja. Program ini diganti dengan operasi pasar murah. Kecuali bagi masyarakat yang memang sangat miskin, harus diberikan bantuan pangan dari pemerintah.
Jika pemerintah terus menggulirkan program bantuan pangan, akan menjadi beban APBN. Kalau sudah ada embel-embel subsidi, apakah subsidi pupuk, beras, bahan bakar, atau subsidi LPG, orang miskin maupun orang kaya berebut untuk mendapatkan komoditi yang masuk dalam program subsidi pemerintah. (Syarif)