
Mungkin, karena industri yang mengolah mineral menjadi produk jadi (end product), belum maksimal di Indonesia?
Konsep hilirisasi berbeda dengan konsep smelterisasi. Kondisi yang sedang terjadi saat ini di Indonesia adalah smelterisasi.
Konsep hilirisasi ada dua syarat utama. Pertama, menaikkan nilai tambah dari komoditas pertambangan. Kedua, hilirisasi harus bisa menciptakan ekosistem industrialisasi dari hulu sampai hilir. Untuk nikel, misalnya, dari bijih nikel diolah menjadi produk setengah jadi, kemudian diproses kembali menjadi baterai pack untuk kendaraan listrik.
Saat ini, yang terjadi rantai produksi olahan bijih nikel terputus, hanya mengolah produk turunan pertama dan kedua untuk kebutuhan ekspor. Tanpa diolah lebih lanjut menjadi baterai pack, apalagi menjadi mobil listrik. Kebijakan mobil listrik sendiri, menurut saya, semakin ngawur.
Mengapa jadi ngawur?
Karena pemerintah saat ini akan menghapuskan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri atau TKDN. Pemerintah juga mengizinkan impor mobil built up (Completely Built Up/CBU). Jika kebijakan itu diberlakukan, nilai tambah yang didapatkan negara rendah. Dan, hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar mobil-mobil built up dari kendaraan listrik negara lain.
Pengalaman mobil konvensional, Indonesia tidak punya brand nasional mobil konvensional. Selalu didominasi oleh mobil-mobil brand Jepang, sekarang marak mobil brand China dan Korea. Karena Indonesia belum punya konsep yang jelas, sehingga hanya dijadikan pasar belaka bagi produsen-produsen mobil konvensional dari negara lain.
Dari pengalaman mobil konvensional itu, jangan sampai terjadi untuk mobil listrik. Karena, Indonesia punya nikel dan komoditas mineral lainnya, yang menjadi bahan baku utama dalam pembuatan baterai kendaraan listrik maupun stainless steel. Masalahnya, kebijakan pemerintah tidak komprehensif. Kebijakannya hanya parsial.