Ketiga, DPR dan pemerintah sepertinya lupa atas yang mereka ukir ihwal kelembagaan pangan di UU Pangan. Di Pasal 126 dan 127 UU Pangan ditulis, “…dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden” dan “mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan”. Rumusan ini melahirkan Bapanas dengan status LPNK, bukan kementerian.
Ketika saya terlibat membahas Perpres Bapanas di Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan pada 2013-2014, tim sudah menyadari institusi baru turunan UU Pangan ini akan powerless. Bahkan, saya masih ingat anggota Pokja yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Maksoem Mahfoed berkukuh sebaiknya tidak dibentuk institusi pengurus pangan jika diyakini powerless. Bagi dia dan Pokja, institusi pengurus pangan harus kuat. Karena pangan bersifat multidimensi, multisektor, dan multiaktor. Sebelum ada Bapanas, urusan pangan ditangani 19 K/L, salah satunya Kementerian Pertanian.
Belakangan diketahui pembentukan Bapanas adalah hasil ‘kompromi politik’. Ini tampak dari, pertama, pembentukannya molor lebih 6 tahun. Kedua, kewenangan yang diterima baru dari tiga kementerian (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN). Itu pun yang dialihkan masih terbatas. Ketiga, bentuknya badan membuat Bapanas bukan peserta rapat kabinet. Apalagi, oleh K/L lain, Bapanas dianggap “tidak setara”, “lebih rendah”, bahkan disetarakan dengan eselon I. Jadi, hemat saya, Bapanas adalah anak haram yang tidak dikehendaki kelahirannya oleh K/L.
Keempat, imajinasi membentuk lembaga kuat seperti Bulog di masa lalu perlu ditimbang ulang. Bulog kuat di masa lalu karena, pertama, perlindungan langsung Presiden Soeharto. Bagi Soeharto, beras dan Bulog adalah pertahanan terakhir (Ali dkk, 1998). Kedua, bentuk organisasinya ekstra-konstitusional. Ketiga, lingkungan politik yang mendukung: monolitik di tangan Presiden Soeharto. Saat itu ihwal transparansi dan akuntabilitas bukan soal penting. Efektivitas yang menjadi pertimbangan utama.
Untuk menjadikan Bulog baru kuat, pemerintah dan DPR mencoba mendesain lewat revisi UU Pangan. Namun demikian, poin ketiga, yakni lingkungan politik, sudah jauh berubah dari orde baru. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi, pusat dan daerah berbagi peran. Selain itu, tata kelola yang baik, transparansi, dan akuntabilitas saat ini jadi hal penting. Bagaimana Bulog menerbitkan HPP dan HET lalu mengimplementasikan sendiri? Atau bagaimana Bulog baru memberikan izin impor kepada dirinya sendiri?
Kelima, pragmatisme (politik). Regulasi yang jadi objek perubahan adalah UU Pangan. Judulnya pun tidak berubah. Akan tetapi, di dalamnya, ada bab khusus mengatur detail ihwal Bulog. Idealnya, pembentukan institusi baru seperti ini didasarkan pada UU baru. Langkah ‘mencangkokkan’ pasal-pasal penyatuan Bapanas dan Perum Bulog adalah cara mudah dan kilat. Padahal, merujuk Maria SW Sumardjono (2020), perubahan yang dilakukan terhadap suatu ketentuan yang dibangun berdasarkan filosofi, konsepsi dan asas/prinsip tertentu tak dapat dilakukan dengan mengubah/mengganti filosofi, konsepsi dan prinsip dasarnya. Dikhawatirkan yang terjadi justru “penyimpangan”.
Jika langkah ini berjalan mulus itu berarti untuk kesekian kalinya pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo melakukan eksperimen baru. Jika sebelumnya menambah formasi K/L di Kabinet Merah Putih dengan memecah beberapa kementerian, kali ini menyatukan dua institusi: Bapanas dan Perum Bulog. Tentu ada risiko: untuk benar-benar operasional perlu waktu penyesuaian. Bisa setengah tahun, setahun atau lebih. Semakin lama waktu adaptasi akan semakin besar ongkos yang ditanggung.
Hemat saya, akan lebih baik jika pemerintah dan DPR menaikkan level Bapanas menjadi Kementerian Pangan yang menterinya merangkap Kepala Bulog. Bulog menjadi bagian penuh dari Kementerian Pangan. Bukan hanya operator seperti saat ini. Dengan cara ini, Kementerian Pangan bisa bertindak sebagai regulator dan eksekutor sekaligus.
Tentu, dengan keberadaan Kementerian Koordinator Pangan di Kabinet Merah Putih saat ini, tugas dan wewenang Kementerian Pangan mesti ditata agar tidak tumpang tindih. Dengan mandat yang kuat dan jelas, yang terumuskan dalam fungsi, tugas, dan wewenang, Kementerian Pangan dan Bulog berpotensi menjadi pengubah permainan (game changer) tata kelola pangan. Catatannya, Kementerian Pangan dan Bulog mesti diperkuat sebagai penyangga pasokan dan stabilisasi harga pangan nasional. (Penulis adalah Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan 2010-2020)