Kedua, pengujian toksikan hanya mencakup 9 zat, padahal penelitian lain menunjukkan vape dapat mengandung ratusan bahan kimia lain dan beberapa di antaranya tidak ada di rokok konvensional, seperti logam berat yang berasal dari coil pemanas.
Ketiga, hasil penelitian BRIN tidak mencerminkan kondisi penggunaan nyata, seperti durasi penggunaan, jenis device, maupun pengaturan watt, yang sangat mempengaruhi jumlah zat berbahaya yang dihasilkan. Peneliti sekelas BRIN harusnya paham soal ini, tetapi kan ini di belakangnya ada industri.
Sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, BRIN seharusnya berdiri di garis terdepan dalam melindungi publik melalui riset yang bermutu, independen, transparan, dan bebas dari keberpihakan industri. Ketika sebuah lembaga penelitian negara justru menghasilkan kajian yang sarat konflik kepentingan dan berpotensi menyesatkan masyarakat, maka BRIN bukan hanya gagal menjalankan amanat ilmiah, tetapi juga mengingkari mandat konstitusionalnya untuk menjaga kesehatan bangsa.
Dengan demikian, penelitian BRIN yang melibatkan Aliansi Vaper Indonesia jelas mengandung konflik kepentingan. BRIN seharusnya menjaga independensi riset, bukan justru menghasilkan kesimpulan yang berpotensi menyesatkan publik dan menguntungkan industri. Ketika nikotin saja tidak diukur, bagaimana bisa menyatakan vape lebih aman?
Oleh sebab itu, tegasnya hasil penelitian BRIN sangat berpotensi menyesatkan publik, terutama bagi orang muda yang kini pengguna rokok elektroniknya meningkat tajam dari 480 ribu (2011) menjadi 6,6 juta orang (2021). Narasi BRIN memberi ilusi keamanan pada produk yang justru menjadi pintu masuk adiksi nikotin bagi orang muda. Sementara di lapangan produk ini dipromosikan secara agresif melalui influencer, kemasan modern, varian rasa yang dirancang menarik remaja, iklan terselubung di konten musik, gaming, hingga event orang muda.
Paparan tersebut diperkuat oleh e-commerce yang masih menjual produk ini tanpa verifikasi usia yang ketat, menjadikan vape hadir sebagai produk lifestyle modern yang mudah diakses oleh generasi muda. Pengguna vape terperangkap isu bahwa vepe lebih aman, bahkan sebagai sarana berhenti merokok konvensional; dan yang terjadi justru sebaliknya, anak muda pengguna vape malah merokok dua-duanya, vape dan konvensional (double smoker).
Lembaga penelitian negara selevel BRIN seharusnya tidak menjadi corong bagi industri yang produk-produknya terbukti adiktif dan bahkan mematikan. BRIN harus kembali pada khittah (perannya), yakni: memastikan masyarakat memperoleh informasi berbasis bukti yang mendorong kehidupan sehat, bukan malah memutarbalikkan fakta ilmiah yang sesungguhnya, dan meracuni masyarakat dengan informasi sampah. (Penulis adalah Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI))