160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN

Konflik Kepentingan di Balik Pendapat BRIN terkait Rokok Vape

750 x 100 PASANG IKLAN

Oleh: Tulus Abadi

HASIL penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyimpulkan bahwa rokok elektrik atau vape memiliki kandungan zat berbahaya yang jauh lebih rendah dibandingkan rokok konvensional. Pendapat atau temuan ini dipromosikan sebagai penelitian pertama di Indonesia yang menilai tingkat toksisitas produk tembakau alternatif berdasarkan sembilan senyawa berbahaya yang diakui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Pendapat dan temuan tersebut sepintas mencerminkan basis ilmiah yang cukup sahih, karena dilontarkan oleh BRIN, lembaga riset yang tentunya kampiun. Namun, jika ditelisik lebih mendalam, hasil riset BRIN itu mengantongi beberapa cacat yang ending-nya memutarbalikkan fakta, karena berkarakter “junk science”. Dan reputasi/kapasitas BRIN sangat meragukan dalam penelitian ini. Kenapa?

Pertama, ternyata penelitian tersebut memicu potensi kuat adanya conflict of interest karena penelitian tersebut melibatkan (didukung) Aliansi Vaper Indonesia sebagai pihak kedua. Karena melibatkan pihak kedua (aliansi Vaper), ya pastilah hasilnya sangat bias, dan sangat berpihak pada kepentingan aliansi vaper tersebut. Sehingga integritas dan objektivitas terhadap hasil penelitian BRIN sangat meragukan, dan oleh karena itu patut dipertanyakan keabsahannya. Keterlibatan industri atau kelompok yang memiliki kepentingan terhadap produk yang diuji adalah pelanggaran terhadap standar etik penelitian kesehatan. Dengan demikian, dalam hal ini, aksi penelitian yang dilakukan BRIN adalah tidak etis, menggelikan. Sebab penelitian itu bertendensi sebagai sebuah “penelitian pesanan”. Meminjam istilah almarhum Gus Dur, BRIN telah menjadi “tukang” dalam penelitian ini. Sangat disesalkan dan memalukan selevel BRIN melakukan penelitian yang bertendensi pesanan dari pihak tertentu.

750 x 100 PASANG IKLAN

Kedua, merujuk pada Data Riset Departemen Pulmonologi FKU/RS Persahabatan justru menunjukkan fakta sebaliknya. Pengguna vape rutin harian memiliki kadar kotinin urin 276,1 ng/mL, lebih tinggi dibandingkan perokok konvensional 5 batang per hari (223,5 ng/mL). Angka ini menunjukkan bahwa paparan nikotin pada pengguna vape justru lebih besar, sehingga risiko ketergantungan nikotin, penyakit vaskular, dan gangguan kardiovaskular, juga lebih besar.

Bahkan survei RSUP Persahabatan tahun 2018 juga memperlihatkan bahwa 76,5% pengguna vape laki-laki mengalami ketergantungan nikotin. Artinya, indikator ini menegaskan bahwa bahaya vape tidak bisa diabaikan, dan bahkan bisa lebih buruk daripada rokok konvensional.

Sebagaimana pernyataan Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), Penasihat Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, menyatakan bahwa kajian BRIN tidak memasukkan nikotin dalam analisisnya, padahal nikotin adalah komponen utama yang menyebabkan adiksi dan memicu penyakit kardiovaskular, stroke, serta penyempitan pembuluh darah. Tanpa memasukkan nikotin, tidak bisa disimpulkan bahwa rokok elektronik tingkat berbahayanya lebih rendah dibanding rokok konvensional.

Terkait hal ini, tidaklah salah jika Ruang Untuk Kebijakan Kesehatan (RUKKI) menyatakan bahwa penelitian BRIN memiliki banyak kelemahan mendasar. Pertama, jumlah sampelnya sangat kecil (hanya 60) sehingga tidak mewakili ribuan produk yang beredar di pasaran.

Kedua, pengujian toksikan hanya mencakup 9 zat, padahal penelitian lain menunjukkan vape dapat mengandung ratusan bahan kimia lain dan beberapa di antaranya tidak ada di rokok konvensional, seperti logam berat yang berasal dari coil pemanas.

750 x 100 PASANG IKLAN

Ketiga, hasil penelitian BRIN tidak mencerminkan kondisi penggunaan nyata, seperti durasi penggunaan, jenis device, maupun pengaturan watt, yang sangat mempengaruhi jumlah zat berbahaya yang dihasilkan. Peneliti sekelas BRIN harusnya paham soal ini, tetapi kan ini di belakangnya ada industri.

Sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, BRIN seharusnya berdiri di garis terdepan dalam melindungi publik melalui riset yang bermutu, independen, transparan, dan bebas dari keberpihakan industri. Ketika sebuah lembaga penelitian negara justru menghasilkan kajian yang sarat konflik kepentingan dan berpotensi menyesatkan masyarakat, maka BRIN bukan hanya gagal menjalankan amanat ilmiah, tetapi juga mengingkari mandat konstitusionalnya untuk menjaga kesehatan bangsa.

Dengan demikian, penelitian BRIN yang melibatkan Aliansi Vaper Indonesia jelas mengandung konflik kepentingan. BRIN seharusnya menjaga independensi riset, bukan justru menghasilkan kesimpulan yang berpotensi menyesatkan publik dan menguntungkan industri. Ketika nikotin saja tidak diukur, bagaimana bisa menyatakan vape lebih aman?

Oleh sebab itu, tegasnya hasil penelitian BRIN sangat berpotensi menyesatkan publik, terutama bagi orang muda yang kini pengguna rokok elektroniknya meningkat tajam dari 480 ribu (2011) menjadi 6,6 juta orang (2021). Narasi BRIN memberi ilusi keamanan pada produk yang justru menjadi pintu masuk adiksi nikotin bagi orang muda. Sementara di lapangan produk ini dipromosikan secara agresif melalui influencer, kemasan modern, varian rasa yang dirancang menarik remaja, iklan terselubung di konten musik, gaming, hingga event orang muda.

750 x 100 PASANG IKLAN

Paparan tersebut diperkuat oleh e-commerce yang masih menjual produk ini tanpa verifikasi usia yang ketat, menjadikan vape hadir sebagai produk lifestyle modern yang mudah diakses oleh generasi muda. Pengguna vape terperangkap isu bahwa vepe lebih aman, bahkan sebagai sarana berhenti merokok konvensional; dan yang terjadi justru sebaliknya, anak muda pengguna vape malah merokok dua-duanya, vape dan konvensional (double smoker).

Lembaga penelitian negara selevel BRIN seharusnya tidak menjadi corong bagi industri yang produk-produknya terbukti adiktif dan bahkan mematikan. BRIN harus kembali pada khittah (perannya), yakni: memastikan masyarakat memperoleh informasi berbasis bukti yang mendorong kehidupan sehat, bukan malah memutarbalikkan fakta ilmiah yang sesungguhnya, dan meracuni masyarakat dengan informasi sampah. (Penulis adalah Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI))

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
PASANG IKLAN

Tutup Yuk, Subscribe !