
Selain itu, ada potensi benturan kepentingan ketika rangkap jabatan terjadi. Ketika dihadapkan pada pilihan kebijakan yang membela produsen dan konsumen, manakah yang hendak diambil? Misalnya, impor gula mentah untuk diolah menjadi gula konsumsi. Impor dilakukan karena produksi gula konsumsi domestik belum mencukupi kebutuhan.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian memiliki program swasembada gula konsumsi pada 2028. Kementerian Pertanian memiliki kepentingan agar capaian kinerja swasembada gula konsumsi baik. Ini berarti impor harus menurun. Kalau produksi gula domestik tidak juga membaik, bagaimana memastikan pejabat yang rangkap jabatan obyektif?
Contoh lain terkait dengan Bulog. Saat in Bulog adalah operator atau tangan kanan Bapanas dalam menjalankan tugas pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran setidaknya untuk 3 dari 9 komoditas yang ditangani Bapanas, yakni beras, jagung, dan kedelai. Enam komoditas lain (gula konsumsi, bawang, daging ruminansia, daging unggas, telur unggas, dan cabai) terkadang diserahkan ke Bulog atau ID Food atau yang lain.
Tahun ini Bulog ditargetkan menyerap beras domestik 3 juta ton dari gabah kering panen tanpa syarat kualitas dan rafaksi harga. Akhir Mei 2025 serapan mencapai 2,3 juta ton beras. Ditambah sisa stok tahun lalu, stok beras di Bulog mencapai 4 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah. Dalam berbagai kesempatan, Amran Sulaiman, Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan hingga Presiden Prabowo membanggakan capaian ini.
Di akhir Agustus 2025, target penyerapan 3 juta ton beras hampir tercapai. Masalah muncul karena intervensi pasar beras tidak dilakukan sejak dini. Harga beras tercium naik di akhir April dan terus naik. Tapi intervensi melalui operasi pasar dan penyaluran bantuan pangan beras baru dilakukan pertengahan Juli 2025. Selain amat terlambat, mekanisme operasi pasar yang super ketat membuat aliran beras kecil. Akibatnya, harga beras tetap tinggi dan bertahan di atas Harga Eceran Tertinggi.
Di sisi lain, karena beras sisa impor berusia tua dan ada masalah kualitas beras hasil penyerapan dari gabah semua kualitas di tahun ini, Bulog dan Bapanas kebat-kebit. Bukan hanya susut volume, potensi penurunan mutu dan rusak, beras dari gabah semua kualitas harganya juga mahal. Ujung-ujungnya, subsidi negara akan besar sekali. Dengan penyerapan gabah semua kualitas petani memang diuntungkan. Tapi beras yang turun mutu membuat serapan di konsumen terbatas. Bulog dan negara terbebani.
Diakui atau tidak, sebelum Arief diganti, publik melihat situasi saat itu telah menempatkan dua pejabat dalam posisi bertolak belakang: Menteri Pertanian versus Kepala Bapanas. Jika hendak menjaga kesejahteraan petani/produsen, tentu Menteri Pertanian cenderung meneruskan penyerapan gabah semua kualitas. Namun, tatkala melihat harga beras tetap tinggi, Menteri Pertanian yang juga Kepala Bapanas dituntut membela konsumen yang berterik karena daya beli mereka terganggu.
Jika stok beras Bulog di akhir tahun masih besar karena tidak ada langkah konkrit untuk menyalurkan dalam jumlah besar, ini akan jadi bom waktu yang siap “meledak” setiap saat. Dalam situasi seperti itu, bagaimana memastikan pejabat yang merangkap jabatan dan mengemban tugas yang saling bertentangan akan berdiri tegak di tengah? Bagaimana menjamin kebijakan-kebijakannya tidak miring ke sebelah kiri atau kanan?
Kalau tujuannya efisiensi, dalam konteks pangan ada kebutuhan untuk menata ulang institusi pengurus pangan. Saat ini ada Menteri Koordinator Bidang Pangan dan BGN. Merujuk Perpres 147 Tahun 2024 tentang Kementerian Koordinator Bidang Pangan, salah satu tugasnya adalah menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pangan. Tugas “koordinasi” ini overlap dengan yang diemban Bapanas. (Penulis adalah Pengurus Pusat PERHEPI, Anggota Komite Ketahanan Pangan INKINDO, dan Pegiat AEPI)