160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN

CATATAN PRODUKSI BERAS 2025 (Bagian 2)

Pengamat Pertanian dari Perhepi, Khudori.
750 x 100 PASANG IKLAN

Oleh:Khudori

PRODUKSI beras 2025 diperkirakan naik tinggi dibandingkan tahun 2024. Dalam rilis Senin, 1 Desember 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras tahun ini mencapai 34,79 juta ton, naik 13,6% dari tahun lalu. Kenaikan produksi ini disumbang oleh penambahan luas panen 1,31 juta ha. Bukan oleh peningkatan produktivitas. Angka produktivitas hanya naik 0,45%: dari 5,28 ton gabah kering giling (GKG) per ha pada 2024 jadi 5,31 ton GKG per ha 2025. Produksi naik juga karena berkah alam dan semua sumber daya (anggaran dan SDM) Kementerian Pertanian fokus ngurus padi dan jagung.

Ini menandakan kenaikan produksi padi/beras tahun ini belum ditopang oleh fondasi yang kokoh. Berkah alam dalam bentuk hujan yang turun hampir sepanjang tahun seperti tahun ini tidak selalu terjadi. Ketika terjadi penyimpangan iklim, El Nino atau La Nina, produksi terdampak. Data-data menunjukkan El Nino, terutama skala kuat, selalu diikuti penurunan produksi padi/beras. Sebaliknya, La Nina berdampak positif pada produksi: kenaikan suplai air membuat lahan kering dan tadah hujan bisa ditanami.

El Nino pada 2023 yang berlanjut ke awal 2024 membuat produksi padi/beras di dua tahun itu terendah sejak 2018. Produksi beras pada 2023 sebesar 31,1 juta ton dan pada 2024 mencapai 30,62 juta ton. Sialnya, secara statistik perulangan El Nino – La Nina kini kian cepat. Periode 1950-1980 perulangan El Nino – La Nina terjadi 5-7 tahun, periode 1981-2018 berulang hanya 2-3 tahun (Herizal dkk, 2020).

750 x 100 PASANG IKLAN

Dihadapkan pada kapasitas fiskal yang terbatas, Kementerian Pertanian diperkirakan akan kembali fokus menggarap komoditas prioritas di tahun 2026. Kalau fokus kepada padi dan jagung mengendur, baik anggaran maupun SDM, produksi bisa saja stagnan, bahkan terancam menurun. Fokus menambah luas tanam pun ada batasnya. Ketika indeks pertanaman sudah maksimal, infrastuktur penyediaan air belum memadai, dan menambah sawah baru perlu anggaran besar dan waktu panjang, luas panen akan stagnan.

Ketika produksi sejumlah komoditas pangan, seperti padi, jagung, kedelai, tebu, aneka umbi, dan tanaman lain dipacu atau ditargetkan swasembada, pertanyaannya di manakah hendak ditanam dan apakah lahannya tersedia? Tanpa banyak disadari, di lahan baku sawah yang hanya seluas 7,38 juta hektare saat ini telah berkompetisi aneka tanaman pangan. Yang paling utama tentu padi, jagung, kedelai, dan tebu.

Kala suatu tanaman diperluas –karena ditargetkan untuk swasembada— harus mengorbankan luasan lahan tanaman lain. Misalnya, ketika produksi kedelai dipacu, terpaksa harus mengorbankan lahan untuk padi, jagung atau tebu. Begitu seterusnya. Tak salah jika ada yang mengatakan ini ibarat orang memakai sarung kependekan atau cekak. Menutup dada kelihatan lutut, menutup lutut kelihatan dada. Serba salah.

Tahun ini luas panen padi diperkirakan naik 1,31 juta ha dan jagung naik 0,24 juta ha. Sedangkan luas panen tebu ditaksir turun 7.428 ha. Apakah luas panen kedelai dan aneka umbi turun? Belum diketahui. Ilustrasi ini hanya hendak menunjukkan perlu langkah-langkah fundamental untuk membangun fondasi produksi padi yang lebih kokoh. Agar anomali iklim dan sempitnya fiskal tidak menekan produksi secara drastis.

750 x 100 PASANG IKLAN

Salah satu fondasi yang perlu dibangun adalah meningkatkan produktivitas berbasis perubahan teknologi. Studi terbaru menunjukkan angka faktor produktivitas total (TFP) komoditas padi Indonesia periode 1982-2020 hanya 1,47%. Pertumbuhan produksi padi kain bergantung pada TFP daripada ekspansi input tradisional. Untuk menggenjot produksi, investasi pada riset, inovasi teknologi, dan peningkatan kapasitas petani menjadi kunci, bukan hanya menambah lahan atau tenaga kerja (Sahara, 2025).

TFP adalah ukuran efisiensi produksi yang menunjukkan seberapa banyak output (hasil produksi) dapat dihasilkan dari sejumlah input (faktor produksi) tertentu. Dengan kata lain bagaimana semua input digunakan secara efisien untuk menghasilkan output, yang sering kali dipengaruhi kemajuan teknologi. Tengoklah Jepang yang rerata TFP periode 2004-2018 sebesar 4,2%. TFP yang tinggi ini karena petani di sana punya tingkat literasi tinggi, sehingga lebih mudah mengadopsi teknologi baru.

Selain itu, harga lahan yang tinggi turut mendorong petani secara aktif mempelajari dan mengadopsi teknologi baru. Berkembangnya pertanian cerdas di Jepang membuat manajemen produksi berbasis kecerdasan dan mekanisme penyebaran informasi pertanian melalui jaringan komputer kian berkembang. Tenaga teknis pertanian bisa menganalisis dan mengevaluasi data secara akurat dan tepat waktu dalam waktu nyata (real-time). Jadi, R&D (riset dan pengembangan) jadi kunci. Ini semua perlu dana (Sahara, 2025).

750 x 100 PASANG IKLAN

Pages: 1 2
750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
PASANG IKLAN

Tutup Yuk, Subscribe !