Sumber pertumbuhan produksi padi/beras lainnya adalah menekan kehilangan pada tiga tahapan penggilingan: pengeringan, penggilingan, dan penyimpanan. Akibat terlalu fokus pada produksi gabah di lahan membuat potensi penambahan produksi beras dari subsistem lain terabaikan. Potensi kehilangan hasil padi dari 3 tahapan penggilingan padi (2018-2023) sebesar 6 juta ton GKG, terbesar di penggilingan (4,4 juta ton) setara Rp25,1 triliun yang 83% (Rp20,89 triliun) dari penggilingan kecil (Sawit, 2024). Diakui atau tidak, upaya menekan kehilangan di penggilingan ini terlupakan.
Ini terjadi karena selama puluhan tahun pemerintah lebih fokus swasembada gabah, tapi melupakan beras. Berbagai kebijakan di on farm (subsidi pupuk, benih, bantuan alat dan mesin pertanian, dan lain-lain) dibuat untuk mengejar swasembada gabah. Seolah-olah produksi gabah adalah segala-galanya. Seolah-olah ketika produksi gabah tinggi produksi beras akan tinggi juga. Memang benar. Tapi kalau penyerapan gabah semua kualitas, seperti diwajibkan kepada Bulog tahun ini, rendemennya akan rendah: hanya 50,8%. Lebih kecil dari standar BPS (2018): 53,38%. Ada selisih 2,58%.
Industri padi/gabah dan industri beras sejatinya saling terkait erat dan saling memperkuat. Keduanya laksana dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu di antaranya melemah, kurang terurus atau tak diurus, keduanya akan melemah atau tak terurus. Harga beras, kualitas, dan produktivitas beras tidak hanya ditentukan tingkat produktivitas (GKG/ha) dan efisiensi di level usahatani, tapi juga ditentukan efisiensi pada tahap proses pengeringan gabah dan penggilingan padi.
Jamak diketahui dua tahapan pascapanen ini amat menentukan kualitas dan produktivitas beras, serta efisiensi yang tecermin pada harga beras. Dua tahapan pascapanen ini amat terkait erat dengan kinerja dan kondisi industri penggilingan padi. Sialnya, di dua tahapan pascapanen itu Indonesia amat lemah. Ini terkait dominasi penggilingan padi kecil dan sederhana. Merujuk data BPS (2020), jumlah penggilingan padi skala kecil mencapai 95% dari total 169.789 unit.
Penggilingan padi kecil tak mampu menghasilkan beras kualitas baik berbiaya rendah, kehilangan hasil tinggi, banyak butir patah, rendemen rendah, dan tak mampu menghasilkan beras dengan higienitas tinggi (Sawit, 2014; Patiwiri, 2006). Sebaliknya, penggilingan padi besar, apalagi penggilingan padi terintegrasi, bisa menghasilkan beras berkualitas bagus, biaya rendah, kehilangan hasil rendah, butir patah sedikit, dan rendemen tinggi –selaras perubahan preferensi konsumen.
Ke depan, pembiaran industri penggilingan seperti ini harus diakhiri. Sikap pemerintah yang cenderung memusuhi penggilingan, terutama skala menengah-besar, seperti saat ini menambah komplikasi masalah. Ke depan, industri penggilingan padi harus diperkuat. Caranya, penggilingan padi kecil diintegrasikan dengan penggilingan padi besar agar tak saling kanibal, terutama dalam berebut gabah.
Penggilingan besar, terutama milik Bulog, diatur agar bisa menerima beras pecah kulit penggilingan kecil sebagai bahan baku. Penggilingan kecil diberi insentif agar melengkapi diri dengan alat/mesin sehingga mampu menghasilkan beras pecah kulit berkualitas. Langkah ini harus diikuti perubahan cadangan beras pemerintah yang dikelola Bulog dari kualitas medium ke premium. Ini memberi insentif penggilingan untuk memproduksi beras berkualitas dengan mengganti alat/mesin. Jika ini dilakukan, ada peluang penambahan produksi. Ini membuat tekanan menambah luas panen menurun. (Penulis adalah Pengurus Pusat PERHEPI, Anggota Komite Ketahanan Pangan INKINDO, serta Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan AEPI)