
Oleh: Khudori
HARGA beras masih fluktuatif. Ada yang naik, ada yang turun. Bahwa di provinsi tertentu harga beras mulai turun benar adanya. Namun, di sejumlah provinsi lainnya harga cenderung naik. Berbagai langkah pemerintah untuk menjinakkan harga beras masih belum manjur. Secara umum harga beras masih bertahan di level tinggi.
Merujuk data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang diolah oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan ketiga Agustus 2025 harga rerata nasional beras medium dan premium di zona 1 masing-masing Rp14.005 per kilogram dan Rp15.437 per kilogram. Sementara pada pekan kedua Agustus 2025, harga beras medium dan premium masing-masing mencapai Rp14.012 per kilogram dan Rp 15.435 per kilogram.
Tampak harga beras medium turun tipis, sementara harga beras premium naik tipis. Harga pekan ketiga itu lebih tinggi dibandingkan harga pada Juli 2025: Rp13.853 per kilogram untuk beras medium dan Rp15.310 per kilogram untuk beras premium. Harga beras di pekan ketiga Agustus itu melampaui harga eceran tertinggi (HET): Rp12.500 per kilogram untuk beras medium dan Rp14.900 per kilogram untuk beras premium.
Di zona 2, pada pekan ketiga Agustus 2025 harga rerata nasional beras medium dan premium masing-masing Rp14.872 per kilogram dan Rp16.618 per kilogram. Sementara pada pekan kedua Agustus 2025, harga beras medium dan premium masing-masing mencapai Rp14.873 per kilogram dan Rp 16.625 per kilogram. Harga beras medium dan premium turun tipis. Tapi harga beras di pekan ketiga Agustus itu melampaui HET: Rp13.100 per kilogram (medium) dan Rp15.400 per kilogram (premium).
Lalu, pada pekan ketiga Agustus 2025 harga rerata nasional beras medium dan premium di zona 3 masing-masing Rp18.899 per kilogram dan Rp20.709 per kilogram. Sedangkan pekan kedua Agustus 2025, harga beras medium dan premium masing-masing Rp18.905 per kilogram dan Rp20.700 per kilogram. Harga beras medium turun tipis, beras premium naik tipis. Harga beras di pekan ketiga Agustus itu di atas HET: Rp13.500 per kilogram (medium) dan Rp15.800 per kilogram (premium).
Mengapa harga beras di ketiga zona masih persisten tinggi? Seperti diulas pada artikel “Kenapa Harga Beras Tidak Juga Turun?” pada 21 Agustus 2025, setidaknya ada tiga penyebab: operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) belum efektif, Bulog masih berburu gabah di pasar melalui mitra maklun, dan surplus produksi turun. Ketiga faktor saling terkait dan saling memperkuat satu sama lain.
Sejak disalurkan kembali mulai 14 Juli lalu, sampai 27 Agustus 2025 Bulog baru mengalirkan 274.972 ton beras SPHP. Dari 226.005 ton itu 181.192 ton di antaranya tersalur pada Januari hingga pekan pertama Februari 2025. Itu berarti dari 14 Juli-27 Agustus 2025 tersalur 93.780 ton atau rerata 2.084 ton per hari. Dalam beberapa hari terakhir volume penyaluran harian diklaim mendekati 7.000 ton. Meskipun mulai membaik, ketika pasar “lapar” beras jumlah aliran harian ini masih terlalu kecil.
Pertanyaannya, apakah tersedia resep yang mujarab untuk mengendalikan harga? Tentu ada. Dengan segala kelebihan-kekurangan, termasuk risiko yang mungkin terjadi. Pertama, mengefektifkan operasi pasar SPHP. Caranya, menggandeng pedagang di pasar, termasuk pedagang di pasar induk. Pedagang pasti memiliki jejaring pemasaran. Jejaring yang luas memungkinkan penyaluran operasi pasar berjumlah besar dan cepat.
Operasi pasar adalah mengguyur beras untuk pasar (baca: pedagang di pasar). Bukan mengalirkan beras ke komunitas atau konsumen akhir. Sasaran operasi pasar adalah pasar, bukan warga komunitas atau konsumen akhir seperti yang dilayani saat ini: toko pengecer di pasar tradisional, toko binaan pemda, koperasi desa/kelurahan merah putih, gerakan pangan murah (GPM) oleh dinas ketahanan pangan/pemda, toko milik BUMN, dan instansi pemerintah termasuk TNI/Polri (baca: Koramil dan Polsek).
Tentu tidak salah aparat Polri/TNI terlibat melayani masyarakat yang membeli beras SPHP. Akan tetapi, jejaring Polri dan TNI kalah luas dengan jejaring pasar. Belum lagi soal kecepatan aliran barang. Penggilingan juga perlu dilibatkan. Penggilingan padi yang juga penjual beras pasti memiliki jejaring pemasaran. Kata kuncinya, jenuhi pasar dengan beras. Berapapun permintaan mesti dipenuhi. Indikatornya harga. Kalau pasokan melimpah harga akan turun, setidaknya tertahan tidak naik.
Tidak perlu diatur rigid dengan foto segala. Untuk menutup celah laku culas, pengawasan diperketat. Dengan melibatkan aparat penegak hukum. Kalau ada yang membuka kemasan SPHP dan mencampur beras dengan beras lain, harus ditindak tegas. Dengan beras SPHP kemasan retail 5 kilogram, setidaknya menekan potensi penyelewengan. Karena perlu effort luar biasa untuk mengakali. Di saat Satgas Pangan intens masuk pasar dan mengawasi, hanya mereka yang niat dan nekat yang berani berlaku lancung.
Industri perberasan adalah contoh persaingan sempurna pasar komoditas pangan. Ratusan ribu, bahkan jutaan, penjual dan pembeli bertransaksi di pasar. Tidak ada cerita pasar oligopoli. Karena itu, untuk tetap bisa bertahan pelaku usaha akan mengerjakan yang dilakukan kompetitor. Margin perdagangan relatif kecil. Langkah tindakan hukum langsung tanpa didahului pembinaan dan teguran menimbulkan ketakutan. Mereka menghentikan operasional. Operasi pasar yang rigid mengurangi efektivitas.
Kedua, operasi pasar harus dikombinasikan penyaluran tetap. Sejak Raskin diubah menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) pada 2017, saat ini tidak ada penyaluran tetap beras yang dikelola Bulog. Berbagai outlet diciptakan, seperti Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) yang kemudian diubah jadi SPHP dan bantuan pangan beras. Akan tetapi kedua outlet itu tidak pasti: kadang ada, kadang tidak. Selain ketersediaan anggaran, juga tergantung kepentingan (politik) pemerintah.
Bukti empiris menunjukkan, pengaruh penyaluran beras operasi pasar pada harga lebih efektif apabila didukung faktor lain, terutama penyaluran tetap seperti Raskin di masa lalu. Mengapa? Karena volume penyaluran tetap seperti Raskin tergolong besar: setara 40 persen kebutuhan konsumsi keluarga. Keluarga penerima Raskin hanya perlu membeli kekurangannya saja. Ini membuat permintaan beras di pasar menurun. Harga pun turun.
Saat ini di gudang Bulog ada stok beras 3,933 juta ton. Sebagian besar berupa cadangan beras pemerintah (CBP). Stok komersial hanya 13.900 ton. Jika diasumsikan target penyaluran SPHP 1,3 juta ton dari Juli-Desember 2025 tercapai dan 366 ribu ton bantuan pangan beras tersalurkan semua, stok beras akhir tahun Bulog masih sebesar 2,684 juta ton. Ini jumlah yang besar. Agar stok akhir tahun tinggal 1,2 juta ton, berarti 1,48 juta ton beras harus disalurkan di 4 bulan tersisa tahun ini.
Agar harga beras terkendali, bantuan pangan beras 10 kilogram per bulan per keluarga kepada 18,3 juta keluarga sebaiknya dilanjutkan. Dari September hingga Desember 2025. Bila perlu per keluarga menerima 15 kg per bulan. Jadi, total 1,098 juta ton beras. Sisanya sebesar 382 ribu ton beras bisa untuk golongan anggaran. Atau bantuan sosial dan pos-pos lain seperti dibuka di Inpres No. 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah.
Ketiga, Bulog harus memastikan beras operasi pasar dan bantuan pangan adalah beras berkualitas. Sebagian beras stok Bulog saat ini berusia lebih setahun. Beras ini potensial berbau apek. Beras hasil penyerapan dalam negeri melalui pembelian gabah segala kualitas juga dipastikan kualitasnya kurang bagus. Beras ini tidak tahan lama dan potensial turun mutu. Beras yang tidak layak ini bisa direprosesing.
Ketika beras di retail modern menipis, bahkan kosong, dalam jangka pendek beras SPHP bisa jadi alternatif. Otoritas kebijakan harus mengakhiri menggunakan beras sebagai ajang membangun pencitraan. Saat ini tensi politik beras sudah terlalu tinggi. Perlu diturunkan. Pada saat yang sama, aparat penegak hukum harus hati-hati. Jangan sampai penindakan hukum justru jadi ajang kriminalisasi dan alat pencitraan pejabat publik.
Para pihak di industri perberasan harus dipulihkan kepercayaannya. Cara-cara intimidatif, termasuk meminta penggilingan tidak membeli gabah petani di atas Rp6.500 per kilogram harus dihentikan. Aura ketakutan yang mendominasi industri perberasan akhir-akhir ini amat tidak kondusif bagi pelaku usaha. Pemulihan diperlukan agar semua pihak bisa bergotong royong kembali mengisi pasar beras yang kering pasokan.
Percayalah pemerintah melalui Bulog tidak akan mampu mengelola dan memulihkan pasar sendirian apabila situasi memburuk: pelaku usaha berhenti beroperasi karena takut dan warga panik lantaran pasokan beras kian menipis. Sebelum situasi semakin memburuk langkah-langkah pemulihan perlu segera diambil, termasuk dua langkah penting di atas. Catat baik-baik: kalau perut kosong amarah bisa memuncak. (Khudori: Pengurus Pusat PERHEPI, Anggota Komite Ketahanan Pangan INKINDO, Pegiat AEPI)