Jakarta,corebusiness.co.id-Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai memperketat kontrol pasokan bijih nikel sebagai respons terhadap kelebihan pasokan pasar. Kadar saprolit yang terus menurun, pelestarian dan perpanjangan masa pakai, adalah bagian dari kebijakan pembatasan produksi bijih nikel.
Mengutip data internal Shanghai Metal Market (SMM) menunjukkan bahwa produksi aktual bijih nikel Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan 265 juta ton. Angka ini jauh di bawah kuota Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) yang disetujui sekitar 326 juta ton. Kesenjangan ini menyoroti bahwa tidak semua kuota yang disetujui akhirnya terealisasi di pasar.
Berdasarkan hasil diskusi SMM dengan ESDM, terungkap alasan pembatasan kuota produksi bijih nikel. Secara paralel, Pemerintah Indonesia semakin fokus pada pelestarian dan perpanjangan masa pakai sumber daya nikel Indonesia.
Menurut ESDM, kadar saprolit rata-rata pada tahun 2024 berada di sekitar 1,66 persen. Namun, dalam waktu hanya satu tahun, kadar saprolit rata-rata telah menurun menjadi sekitar 1,57 persen. Persentase penurunan kadar saprolit hampir 0,1 poin. Penurunan kualitas bijih yang cepat ini mencerminkan percepatan penambangan sumber daya berkadar tinggi.
ESDM berpandangan, jika pasokan dibiarkan tanpa pengawasan dan eksplorasi tidak dapat mengimbangi pertumbuhan permintaan, cadangan bijih nikel yang layak secara ekonomi di Indonesia dapat terkuras dengan laju yang jauh lebih cepat.
“Dari perspektif ini, volume bijih nikel yang benar-benar dirilis ke pasar sudah lebih terkendali daripada yang disarankan oleh angka RKAB secara keseluruhan,” tulis SMM berdasarkan hasil diskusi dengan ESDM, dikutip Selasa (23/12/2025).
Sebagai pembelaan Pemerintah Indonesia, SMM memperkirakan kebijakan kuota produksi bijih nikel 2026 akan disertai dengan persyaratan persetujuan yang lebih ketat. Termasuk kewajiban untuk membayar penuh jaminan reklamasi, pengawasan yang lebih ketat terhadap catatan produksi penambang, kinerja eksplorasi, dan kemampuan operasional.
“Tindakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan disiplin dan memastikan praktik penambangan yang berkelanjutan,” ungkap ESDM seperti disampaikan SMM.
Dari perspektif SMM, perkiraan kuota bijih nikel Indonesia tahun 2026 harus didekati dari dua sudut pandang utama. Pertama, terdapat “dua” proses aplikasi RKAB 2026. Meskipun kerangka RKAB tiga tahun sebelumnya telah dikembalikan ke sistem tahunan berdasarkan Peraturan ESDM No. 17 Tahun 2025, proses aplikasi dan penyesuaian kuota untuk tahun 2026 masih berlangsung.
Sesuai Pasal 11 dan Pasal 12 peraturan ESDM tersebut, penambang diizinkan mengajukan revisi kuota atau alokasi tambahan hingga 31 Juli 2026, dengan syarat tertentu. Oleh karena itu, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa total kuota yang disetujui akan dibatasi ketat pada 250 juta ton.
SMM menganalisis, penambang berskala besar yang mapan dengan catatan kepatuhan kuat masih dapat mengajukan kuota lebih tinggi untuk mendukung penjualan tambahan atau ekspansi operasional.
Kedua, meningkatnya permintaan smelter pada 2026. Permintaan bijih nikel diperkirakan meningkat lebih lanjut pada tahun 2026 seiring dengan pengoperasian kapasitas peleburan baru, khususnya di segmen hidrometalurgi.
Dorongan pemerintah untuk pengembangan hilir bernilai tambah tinggi dengan emisi rendah telah mendorong investasi dalam proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Sumber MHP dapat dibuat dari bijih nikel kadar rendah atau limonit melalui teknologi HPAL, atau dapat dibuat dari serbuk hitam baterai.
“MHP adalah bubuk abu-abu hijau yang dapat larut dalam air,” terang SMM.
Meskipun Indonesia memiliki lebih sedikit fasilitas HPAL dibandingkan dengan operasi pirometalurgi berbasis teknologi Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF), SMM mengungkap, kapasitas hidrometalurgi terus berkembang secara stabil. Karena itu, perlu ditingkatkan konsumsi limonit untuk output nikel.
SMM menyatakan, memproduksi satu ton MHP membutuhkan bijih yang jauh lebih banyak ketika kadar umpan menurun.
Menurut perkiraan SMM, Indonesia dapat menghasilkan lebih dari 200 ribu ton output logam nikel tambahan pada tahun 2026, yang akan diterjemahkan menjadi peningkatan signifikan dalam permintaan bijih nikel. Perkiraan ini belum sepenuhnya memperhitungkan kapasitas tambahan dari proyek nickel matte, Nickel Pig Iron (NPI), dan ferronikel (FeNi) yang sedang dibangun atau dalam tahap perencanaan.
Sebagai perbandingan, data internal SMM menunjukkan bahwa permintaan bijih nikel Indonesia pada tahun 2025 dapat mencapai sekitar 280 juta wet metric ton (wmt). Bahkan setelah memperhitungkan pemotongan produksi, penghentian pemeliharaan, atau penundaan di beberapa smelter, pengoperasian proyek baru pada tahun 2026 kemungkinan akan mendorong permintaan bijih melampaui level 2025.
Diungkapkan, meskipun tujuan Indonesia untuk mengurangi pasokan bijih nikel jelas, yang didorong oleh tujuan harga dan keberlanjutan sumber daya, pengurangan menyeluruh kuota RKAB 2026 menjadi 250 juta ton mungkin sulit dipertahankan dalam praktiknya. Faktor-faktor tertentu dapat mendorong kuota yang disetujui akhir lebih tinggi, termasuk meningkatnya permintaan hilir, penurunan kadar bijih, dan mekanisme revisi pertengahan tahun sistem RKAB sendiri.
SMM memperkirakan RKAB bijih nikel yang disetujui Indonesia untuk tahun 2026 kemungkinan akan tetap di atas 250 juta ton, kecuali penegakan kebijakan menjadi jauh lebih ketat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. (Rif)