Bahlil menuturkan, ratas difokuskan pada penanganan tambang dan kebun ilegal yang merugikan negara. Pemerintah memberikan kewenangan kepada Satgas Penertiban Kawasan Hutan dan Pertambangan (Satgas PKH) untuk menegakkan kedaulatan negara atas sumber daya alam dengan cara mengembalikan kawasan hutan yang dikelola secara ilegal kepada negara.
“Saya sering juga turun terus ke lapangan. Memang tambang-tambang ilegal ada yang punya IUP, tapi nggak punya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Mereka melakukan penambangan liar dan itu semuanya akan diberikan sanksi sesuai dengan aturan yang ada,” beber Bahlil usai melantik Pejabat Tinggi Pratama Kementerian ESDM, Senin, 24 November.
Dengan penarikan kewenangan ini, kata dia, pemerintah pusat akan menata ulang dan mengevaluasi seluruh izin tambang pasir kuarsa untuk mencegah tumpang tindih dan penyalahgunaan izin, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.
Sebagai informasi, pasir kuarsa ditetapkan sebagai mineral kritis berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 296.K/MB.01/MEM/B/2023 tentang Penetapan Jenis Komoditas yang Tergolong dalam Klasifikasi Mineral Kritis.
Arsani pun bereaksi. Ia mengatakan, tidak semudah itu kewenangan pemerintah daerah ditarik pemerintah pusat. Ia memastikan izin pertambangan izin pasir kuarsa masih berada dalam kewenangan pemerintah daerah.
“Tidak semudah itu, karena itu hanya miss komunikasi saja. Jadi belum final, karena ada IUP eksplorasi silika, tapi tiba-tiba ada timah. Jadi belum, karena masih pengkajian. Untuk perizinan, masih di daerah di gubernur,” ujarnya.
Ia berpandangan, jika kewenangan izin pertambangan pasir kuarsa ditarik ke pusat, akan memberikan dampak negatif bagi kemajuan pemerintah daerah, khususnya Pemprov Babel.
“Ini masih sebelah pihak, karena itu tumpang tindih. Rugi kita, Pendapatan Asli Daerah (PAD) kita tidak masuk. Tapi tidak mungkin lah pak Bahlil itu orang baik, masih perlu pengkajian,” tukasnya.