
Menurut saya, klasifikasi penerapan TKDN diarahkan lebih sektoral. Misalnya, untuk otomotif, diklasifikasi lagi untuk kategori pengadaan komponen kendaraan listrik. Hal ini sesuai dengan program pemerintah, di mana tahun 2017 dikeluarkan peraturan mengizinkan ekspor bijih nikel dengan kadar tertentu.
Kemudian di tahun 2019, pemerintah mengeluarkan Perpres No.55 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Selanjutnya, di tahun 2020 pemerintah secara total melarang ekspor bijih nikel. Larangan ekspor row material juga diberlakukan untuk komoditi bauksit di tahun 2023.
Larangan ekspor ini bertujuan mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri. Komoditas mineral diizinkan diekspor jika sudah diolah di smelter dalam negeri, minimal sudah berbentuk produk setengah jadi.
Bagaimana dengan peraturan TKDN untuk komponen kendaraan listrik?
Menteri Perindustrian telah menerbitkan Permenperin Nomor 6 Tahun 2022 yang mengatur spesifikasi, peta jalan pengembangan, dan penghitungan nilai TKDN untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Saya melihat ada perhatian serius dari pemerintah dalam mendukung tumbuhnya industri yang memproduksi komponen kendaraan listrik.
Permenperin itu memuat pasal tersendiri untuk masing-masing komponen kendaraan listrik. Di antaranya ada pasal yang mengatur untuk baterai. Disebutkan, sel baterai hingga proses packaging-nya dibuat di Indonesia, akan diberikan nilai TKDN 100 persen.
Jika kita bicara WNI yang membangun PMDN 100 persen, selain PT ICI , hingga saat ini kita masih belajar dan belum menghasilkan karya nyata membuat industri sel baterai, termasuk sel baterai lithium untuk penggunaan lain.
Saat ini yang membangun industri sel baterai di Indonesia adalah orang asing melalui PMA. Sekarang, apakah pemerintah punya keberpihakan kepada PMDN?