
Erri menyebutkan, seorang dokter dalam menjalankan tugasnya dipandu oleh tiga aturan atau norma. Pertama, norma etik. Jadi dokter harus beretika baik, atau dasarnya adalah moral dan perilaku dokter. Ketentuan ini diatur dalam 21 pasal Kode Etik Kedokteran.
Kedua, norma disiplin. Seorang dokter harus disiplin dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan-aturan dan syarat yang sudah ditentukan, didasari dengan kompetensi.
“Jika dokter menjalankan tugasnya sesuai kompetensi, artinya dia sudah disiplin. Misalnya, dokter umum melakukan operasi, atau ahli bedah tulang menjalankan operasi usus buntu. Itu di luar kompetensi. Jadi nggak boleh. Itu artinya sudah melanggar disiplin,” tegasnya.
Ketiga, norma hukum. Jadi, dokter dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan peraturan atau hukum yang berlaku.
Erri menambahkan, jenis operasi sendiri ada dua kriteria, yaitu operasi minor dan mayor. Operasi minor dilakukan pembiusan kepada pasien secara lokal. Sementara operasi mayor dilakukan pembiusan secara anestesi umum.
Namun, kata dia, dokter umum bisa melakukan operasi wajah jika tidak dilakukan pembiusan hingga pasiennya tidak sadarkan diri, dengan catatan dokter itu mampu dalam menjalankan operasi wajah.
Menurutnya, boleh tidaknya dokter umum melakukan operasi wajah menyangkut kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan.
“Jadi, kemampuan ini bisa dari dokter umum yang telah dilatih dan dokter spesialis. Dokter spesialis ini telah didik lagi antara 3 sampai 5 tahun,” ucapnya.
Lebih jauh Erri menjelaskan seseorang dinyatakan bergelar dokter, jika dia sudah memiliki ijazah dokter dari universitas tertentu. Tapi, dia belum bisa berhubungan dengan masyarakat atau melakukan praktik dokter sebelum memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan melalui lembaga Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).
Menyoal adanya informasi KKI yang menyatakan status STR dokter SFZ tidak aktif– ketetapan dibuat KKI tanggal 15 Desember 2023—Erri mengatakan, jika data itu valid, dokter SFZ tidak boleh melakukan praktik kedokteran.
“Karena selain ijazah dokter dan STR, sebelum dokter melakukan praktik, dia harus mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) yang diterbitkan Dinas Kesehatan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). SIP baru bisa diterbitkan jika ada STR,” urainya.
Kadang-kadang, diungkapkan Erri, SIP-nya berlaku, tapi STR-nya dicabut. Ia mencontohkan, dokter itu diberikan SIP untuk masa berlaku tahun 2010 sampai 2015. Tentunya masa berlaku STR-nya juga dari tahun 2010 sampai 2015. Tiba-tiba di tengah jalan, misalnya di tahun 2012, STR-nya dicabut, tapi SIP-nya masih jalan.
Jika terjadi kondisi seperti itu, ia menekankan, harusnya KKI memberi tahu kepada Dinas Kesehatan atau PTSP untuk mencabut SIP dokter tersebut. Jika tidak dicabut, maka SIP-nya jalan terus.
Hanya saja, jika seorang dokter sampai gagal melakukan operasi kepada beberapa pasien, secara tegas dia menyatakan,”Jika banyak korban, dokternya perlu diberikan penjeraan. Tidak boleh sampai terjadi seperti itu. Itu yang saya prihatinkan, dokter itu harus mengukur dirinya, bisa tidak dia melakukan operasi wajah. Jika tidak punya skill yang memadai, jangan mengerjakan operasi wajah.” (Rif)