160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN

Kuasa Hukum Intan Pertanyakan Keseriusan Penanganan Polres Jaktim atas Laporan Dugaan Malapraktik Dokter SFZ

Kuasa hukum Intan, Jhon Saud Damanik, S.H., dengan latar belakang Polres Metro Jakarta Timur.
750 x 100 PASANG IKLAN

Jakarta,corebusiness.co.id-Kuasa hukum Intan, Jhon Saud Damanik, S.H., meminta penyidik Unit Reskrim Kriminal Khusus, Satreskrim Polres Metro Jakarta Timur agar lebih serius menangani laporkan dugaan malapraktik dokter SFZ di klinik Deliza Beauty Clinic (DBC) dan Urluxe Clinic By ZA (UCB) yang dikelola Y.

“Kami telah melaporkan perkara ini lebih dari lima bulan lalu, yang teregister dengan Nomor:LP/B/2019/VI/2025/SPKT/POLRES METRO JAKARTA TIMUR/POLDA METRO JAYA. Hingga saat ini masih dalam tahap penyelidikan, belum ditingkatkan ke tahap penyidikan,” kata Jhon Saud Damanik di Jakarta, Jumat (3/10/2025).

Jhon menduga kuat dokter SFZ melakukan tindak pidana, karena telah gagal melakukan operasi hidung kliennya, Intan, hingga mengalami cacat permanen di DBC dan UCB yang dikelola Y.

Berdasarkan informasi yang diterima penyidik Unit Reskrim Kriminal Khusus, Satreskrim Polres Metro Jakarta Timur, penyidik akan memanggil kembali pihak IDI untuk dimintai keterangan. Karena, pada pemanggilan pertama, 29 September 2025, IDI tidak datang ke penyidik tanpa memberitahukan alasan yang jelas.

750 x 100 PASANG IKLAN

“Kami menyayangkan mangkirnya pihak IDI memenuhi pemanggilan penyidik. Informasi yang saya terima, IDI tidak memberitahukan alasan yang jelas atas ketidakhadirannya tersebut,” kata pria yang akrab disapa Jhon.

Menurutnya, keterangan IDI sangat dibutuhkan oleh pihak penyidik terkait ketentuan, prosedur, standardisasi, dan kompetensi terhadap seorang dokter dalam menangani operasi wajah pasiennya. Terlebih, dokter SFZ yang tiga kali gagal melakukan operasi hidung kliennya, Intan, tercatat sebagai anggota IDI.

Jhon mengutarakan, setiap dokter yang berpraktik di Indonesia diwajibkan menjadi anggota IDI. Organisasi profesi ini memiliki peran penting dalam mengatur, menjaga, dan meningkatkan standar etika, kompetensi, serta kualitas layanan Kesehatan yang diberikan oleh dokter di Indonesia.

Ia menyatakan, dokter anggota IDI yang diduga melakukan malapraktik atau pelanggaran Kode Etik Kedokteran, dapat diperiksa oleh IDI melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Pemeriksaan ini merupakan bagian dari penegakan kode etik kedokteran dan sanksi disiplin profesi, meskipun malpraktik juga dapat berujung pada sanksi pidana atau perdata di jalur hukum formal.

“MKDKI harus memerika anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan standar profesi kedokteran,” tegasnya.

750 x 100 PASANG IKLAN

Jhon mengungkapkan, dokter sekaliber Terawan Agus Putranto telah dipecat dari keanggotaan IDI melalui Tim Khusus Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). MKEK menilai inovasi cuci otak dan vaksin Nusantara yang dilakukan Terawan tidak sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran. Salah satu konsekuensinya, Terawan terancam tidak bisa lagi mengurus izin praktik sebagai dokter.

“Bagaimana dengan dokter SFZ yang tiga kali gagal melakukan operasi hidung klien saya, Intan, hingga mengalami cacat permanen?” tanya Jhon.

Tak hanya itu, Jhon juga meragukan keabsahan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter SFZ. Menurutnya, berdasarkan informasi dari Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dinyatakan status STR dokter SFZ tidak aktif. Ketetapan dibuat KKI tanggal 15 Desember 2023.

Lantaran itu, Jhon mempertanyakan status Surat Izin Praktik (SIP) dokter SFZ. Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyatakan bahwa setiap tenaga medis wajib memiliki STR dan SIP untuk melakukan praktik.

750 x 100 PASANG IKLAN

Sementara tenaga medis yang STR-nya dicabut, kata dia, tidak bisa menerbitkan SIP. Pencabutan STR berarti tenaga medis tidak terdaftar dan tidak berhak melakukan praktik, sehingga tidak dapat mengajukan atau memiliki SIP,” terangnya.

“SIP sendiri memerlukan STR yang masih berlaku dan menunjukkan kompetensi tenaga medis tersebut untuk memberikan pelayanan kesehatan. Karena itu, kami mempertanyakan kompetensi tenaga medis dokter SFZ yang melayani operasi para pasien di DBC dan UCB,” urai Jhon.

Menurut Jhon, sejak perkara dugaan malapraktik dokter SFZ ini viral, ternyata ia mendapat telepon dari pasien-pasien DBC dan UCB yang nasibnya sama dengan Intan. Mereka mengaku hasil operasi organ di wajahnya tidak sesuai ekspetasi yang telah diiklannya kedua klinik tersebut.

Harus Berdasarkan Kompetensi

Terpisah, kuasa hukum DBC dan UCB, Dr. Erri Supriadi, S.H., M.H., M.M., mengatakan, hubungan antara dokter dengan pasien diikat dengan perjanjian terapeutik yang dilakukan tidak tertulis antara dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.

“Jadi dokter tidak boleh menjamin hasil pelayanan kesehatan kepada pasien. Dia hanya bertanggung jawab kepada upaya maksimal yang dilandasi dengan kompetensi dan keahlian dokter tersebut. Sementara hasilnya itu adalah milik Tuhan. Pasien sembuh, tidak sembuh, atau bahkan meninggal, itu adalah milik Tuhan,” terangnya.

Erri menyebutkan, seorang dokter dalam menjalankan tugasnya dipandu oleh tiga aturan atau norma. Pertama, norma etik. Jadi dokter harus beretika baik, atau dasarnya adalah moral dan perilaku dokter. Ketentuan ini diatur dalam 21 pasal Kode Etik Kedokteran.

Kedua, norma disiplin. Seorang dokter harus disiplin dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan-aturan dan syarat yang sudah ditentukan, didasari dengan kompetensi.

“Jika dokter menjalankan tugasnya sesuai kompetensi, artinya dia sudah disiplin. Misalnya, dokter umum melakukan operasi, atau ahli bedah tulang menjalankan operasi usus buntu. Itu di luar kompetensi. Jadi nggak boleh. Itu artinya sudah melanggar disiplin,” tegasnya.

Ketiga, norma hukum. Jadi, dokter dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan peraturan atau hukum yang berlaku.

Erri menambahkan, jenis operasi sendiri ada dua kriteria, yaitu operasi minor dan mayor. Operasi minor dilakukan pembiusan kepada pasien secara lokal. Sementara operasi mayor dilakukan pembiusan secara anestesi umum.

Namun, kata dia, dokter umum bisa melakukan operasi wajah jika tidak dilakukan pembiusan hingga pasiennya tidak sadarkan diri, dengan catatan dokter itu mampu dalam menjalankan operasi wajah.

Menurutnya, boleh tidaknya dokter umum melakukan operasi wajah menyangkut kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan.

“Jadi, kemampuan ini bisa dari dokter umum yang telah dilatih dan dokter spesialis. Dokter spesialis ini telah didik lagi antara 3 sampai 5 tahun,” ucapnya.

Lebih jauh Erri menjelaskan seseorang dinyatakan bergelar dokter, jika dia sudah memiliki ijazah dokter dari universitas tertentu. Tapi, dia belum bisa berhubungan dengan masyarakat atau melakukan praktik dokter sebelum memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan melalui lembaga Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).

Menyoal adanya informasi KKI yang menyatakan status STR dokter SFZ tidak aktif– ketetapan dibuat KKI tanggal 15 Desember 2023—Erri mengatakan, jika data itu valid, dokter SFZ tidak boleh melakukan praktik kedokteran.

“Karena selain ijazah dokter dan STR, sebelum dokter melakukan praktik, dia harus mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) yang diterbitkan Dinas Kesehatan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). SIP baru bisa diterbitkan jika ada STR,” urainya.

Kadang-kadang, diungkapkan Erri, SIP-nya berlaku, tapi STR-nya dicabut. Ia mencontohkan, dokter itu diberikan SIP untuk masa berlaku tahun 2010 sampai 2015. Tentunya masa berlaku STR-nya juga dari tahun 2010 sampai 2015. Tiba-tiba di tengah jalan, misalnya di tahun 2012, STR-nya dicabut, tapi SIP-nya masih jalan.

Jika terjadi kondisi seperti itu, ia menekankan, harusnya KKI memberi tahu kepada Dinas Kesehatan atau PTSP untuk mencabut SIP dokter tersebut. Jika tidak dicabut, maka SIP-nya jalan terus.

Hanya saja, jika seorang dokter sampai gagal melakukan operasi kepada beberapa pasien, secara tegas dia menyatakan,”Jika banyak korban, dokternya perlu diberikan penjeraan. Tidak boleh sampai terjadi seperti itu. Itu yang saya prihatinkan, dokter itu harus mengukur dirinya, bisa tidak dia melakukan operasi wajah. Jika tidak punya skill yang memadai, jangan mengerjakan operasi wajah.” (Rif)

 

 

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
ANINDYA

Tutup Yuk, Subscribe !