
Ia menyatakan, dokter anggota IDI yang diduga melakukan malapraktik atau pelanggaran Kode Etik Kedokteran, dapat diperiksa oleh IDI melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Pemeriksaan ini merupakan bagian dari penegakan kode etik kedokteran dan sanksi disiplin profesi, meskipun malpraktik juga dapat berujung pada sanksi pidana atau perdata di jalur hukum formal.
“MKDKI harus memerika anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan standar profesi kedokteran,” tegasnya.
Jhon mengungkapkan, dokter sekaliber Terawan Agus Putranto telah dipecat dari keanggotaan IDI melalui Tim Khusus Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). MKEK menilai inovasi cuci otak dan vaksin Nusantara yang dilakukan Terawan tidak sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran. Salah satu konsekuensinya, Terawan terancam tidak bisa lagi mengurus izin praktik sebagai dokter.
“Bagaimana dengan dokter SFZ yang tiga kali gagal melakukan operasi hidung klien saya, Intan, hingga mengalami cacat permanen?” tanya Jhon.
Tak hanya itu, Jhon juga meragukan keabsahan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter SFZ. Menurutnya, berdasarkan informasi dari Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dinyatakan status STR dokter SFZ tidak aktif. Ketetapan dibuat KKI tanggal 15 Desember 2023.
Lantaran itu, Jhon mempertanyakan status Surat Izin Praktik (SIP) dokter SFZ. Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyatakan bahwa setiap tenaga medis wajib memiliki STR dan SIP untuk melakukan praktik.
Sementara tenaga medis yang STR-nya dicabut, kata dia, tidak bisa menerbitkan SIP. Pencabutan STR berarti tenaga medis tidak terdaftar dan tidak berhak melakukan praktik, sehingga tidak dapat mengajukan atau memiliki SIP,” terangnya.
“SIP sendiri memerlukan STR yang masih berlaku dan menunjukkan kompetensi tenaga medis tersebut untuk memberikan pelayanan kesehatan. Karena itu, kami mempertanyakan kompetensi tenaga medis dokter SFZ yang melayani operasi para pasien di DBC dan UCB,” urai Jhon.
Menurut Jhon, sejak perkara dugaan malapraktik dokter SFZ ini viral, ternyata ia mendapat telepon dari pasien-pasien DBC dan UCB yang nasibnya sama dengan Intan. Mereka mengaku hasil operasi organ di wajahnya tidak sesuai ekspetasi yang telah diiklannya kedua klinik tersebut.
Harus Berdasarkan Kompetensi
Terpisah, kuasa hukum DBC dan UCB, Dr. Erri Supriadi, S.H., M.H., M.M., mengatakan, hubungan antara dokter dengan pasien diikat dengan perjanjian terapeutik yang dilakukan tidak tertulis antara dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.
“Jadi dokter tidak boleh menjamin hasil pelayanan kesehatan kepada pasien. Dia hanya bertanggung jawab kepada upaya maksimal yang dilandasi dengan kompetensi dan keahlian dokter tersebut. Sementara hasilnya itu adalah milik Tuhan. Pasien sembuh, tidak sembuh, atau bahkan meninggal, itu adalah milik Tuhan,” terangnya.