
Jakarta,corebusiness.co.id-Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo mengapresiasi langkah progresif PT PLN (Persero) sebagai perusahaan Indonesia pertama yang masuk dalam perdagangan karbon luar negeri. Langkah ini merupakan salah satu bukti komitmen PLN dalam memitigasi perubahan iklim sekaligus mendorong investasi hijau.
”Ini adalah langkah-langkah yang saya lihat cukup positif, signifikan untuk mendorong dan nanti membuka untuk investor-investor luar negeri, bisa membeli carbon credit di Indonesia, dan nanti likuiditas itu akan masuk ke pasar domestik kita,” ucap Hashim dalam acara ESG Sustainability Forum 2025, seperti dikutip siaran pers PLN.
Hashim mengatakan, keputusan dibukanya perdagangan karbon luar negeri ini merupakan hasil putusan tim yang ia ketuai bersama Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan juga Dewan Ekonomi Nasional yang merekomendasikan kepada Presiden agar pelaku pasar luar negeri dapat berpartisipasi di bursa karbon domestik.
“Karena kita harus mengakui bahwa Indonesia banyak kelebihan, terutama di bidang kehutanan, nature based solutions, selama ini tidak bisa dinikmati oleh pelaku-pelaku dalam negeri karena ditutup,” jelas Hashim.
Menurutnya, dengan membuka perdagangan karbon luar negeri, arus investasi asing dapat menghidupkan pasar karbon nasional tanpa mengurangi pencatatan di dalam negeri.
”Jadi ini suatu langkah yang saya bisa umumkan hari ini, itu berdasarkan rapat yang saya pimpin kemarin, ini supaya likuiditas, likuiditas yang sekarang sudah siap di luar negeri bisa masuk dan menghidupi pasar karbon di dalam negeri yang namanya IDXCarbon,” tambahnya.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menegaskan bahwa PLN bersama dengan pemerintah terus mendorong pengembangan investasi hijau yang berkontribusi langsung pada pelestarian lingkungan. Termasuk melalui perdagangan karbon yang menjadi salah satu alternatif dalam memitigasi perubahan iklim.
“Perubahan iklim adalah persoalan global, oleh sebab itu membutuhkan solusi global. Peluncuran perdagangan karbon luar negeri ini menjadi langkah konkret PLN dan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi bencana iklim yang semakin nyata,” kata Darmawan.
Darmawan menjelaskan, tidak hanya melakukan offset emisi melalui bursa karbon, PLN juga melakukan perdagangan emisi dan offset emisi melalui perdagangan langsung. Terlebih lagi, PLN sudah memiliki platform PLN Climate Click di mana aktivitas perdagangan karbon, baik perdagangan emisi dan offset emisi, sudah mulai dilakukan sejak 2023 lalu.
“PLN siap menjadi garda terdepan dalam upaya penurunan emisi melalui peran aktif untuk terus mengembangkan ekosistem perdagangan karbon di Indonesia,” ujar Darmawan.
Executive Vice President Transisi Energi dan Keberlanjutan PLN, Kamia Handayani menjelaskan, secara resmi PLN ikut serta dalam perdagangan karbon luar negeri pada Senin (20/1) lalu, setelah sebelumnya perdagangan karbon dilakukan terbatas dalam pasar domestik sejak akhir September 2023.
Pada perdagangan karbon internasional pertama ini, Kamia mengungkapkan ada 1,78 juta ton CO2e Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) milik PLN yang akan dijual ke offtaker luar negeri dan telah diotorisasi. Langkah otorisasi atau pengesahan dari Pemerintah ini diperlukan untuk menghindari risiko double counting pada unit karbon yang diperdagangkan di luar negeri.
”Jadi perdagangan karbon ini memang dibukanya kalau di bursa itu mulai 2023 dan baru dibuka untuk pasar luar negeri 2025 ini. Kalau dari sisi demand PLN, 1,7 juta ton CO2e Sertifikat Pengurangan Emisi sudah diotorisasi oleh Pemerintah untuk dijual ke luar negeri,” ucap Kamia.
Kamia melanjutkan, dibukanya perdagangan karbon luar negeri awal tahun ini merupakan langkah yang positif untuk menerapkan Artikel 6 Perjanjian Paris sesuai dengan hasil Conference of the Parties (COP29) di Azerbaijan, November tahun lalu.
”Jadi memang pertama-tama kami sampaikan apresiasi kepada pemerintah tadi disampaikan oleh Pak Hashim sudah mengadakan rapat secara khusus, sehingga akhirnya pemerintah menyepakati untuk membuka pasar karbon luar negeri. Ini merupakan langkah yang positif untuk meningkatkan demand dan mendorong investasi hijau dalam negeri,” tuturnya.
Mengurangi GRK
Menukil artikel KPKNL Bandar Lampung yang ditulis Diana Afifah diinformasikan bahwa Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman ekosistem dan sumber daya alam, menghadapi tantangan serius terkait perubahan iklim. Sektor industri dan kehutanan menjadi kontributor utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Dengan total luas hutan lebih dari 130 juta hektar, Indonesia memiliki potensi besar untuk menyimpan atau mengemisi GRK. Namun, kerusakan hutan yang menyebabkan deforestasi telah menjadikan hutan Indonesia sebagai sumber emisi GRK.
Untuk mengatasi dampak perubahan iklim, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah progresif melalui regulasi dan kelembagaan. Indonesia telah meratifikasi berbagai perjanjian internasional, seperti UNFCCC, Protokol Kyoto, dan Paris Agreement, yang mengharuskan negara-negara untuk melaksanakan kebijakan guna mengatasi deforestasi dan menerapkan praktik pengelolaan hutan berkelanjutan.
Salah satu instrumen utama yang diperkenalkan adalah carbon trading atau perdagangan karbon, sebuah mekanisme berbasis pasar di mana izin emisi atau unit karbon dapat diperdagangkan untuk mengurangi total emisi GRK. Perdagangan karbon ini dianggap sebagai mekanisme yang meningkatkan fleksibilitas negara-negara dalam memenuhi komitmen pengurangan emisi.
Sistem Perdagangan Karbon Uni Eropa (EU ETS) adalah bursa karbon tertua yang menerapkan sistem cap-and-trade, mencakup sekitar 11.300 instalasi energi intensif di 27 negara anggota. EU ETS telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 8 persen pada tahun 2012 dibandingkan dengan tingkat tahun 1990. Hingga kini, EU ETS telah menghasilkan keuntungan total sebesar 184 miliar Euro.
Sejalan dengan negara-negara lain, Indonesia juga mengintegrasikan perdagangan karbon melalui bursa karbon yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (POJK 14/2023).
Bursa karbon di Indonesia, yang dikenal sebagai IDX Carbon, memperkenalkan unit karbon sebagai efek, berbeda dengan bursa internasional yang menganggapnya sebagai komoditas. Ini memungkinkan pengelolaan unit karbon sebagai efek yang dapat dijual kembali dalam bentuk derivatif, meskipun hal ini bertentangan dengan prinsip ‘retired carbon’, di mana unit karbon seharusnya digunakan sekali untuk mengurangi emisi.
Meskipun bursa karbon sudah diimplementasikan, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, seperti status unit karbon sebagai efek atau komoditas. Selain itu, peraturan saat ini belum sepenuhnya mampu mengatasi tantangan seperti double counting dan manipulasi pengukuran unit karbon, yang dapat mengurangi integritas dan kepercayaan pasar karbon.
Berdasarkan POJK 14/2023, perdagangan unit karbon dari luar negeri dapat difasilitasi oleh penyelenggara bursa karbon, namun hal ini membuka peluang double counting, di mana unit karbon yang sama dapat dihitung oleh dua entitas berbeda untuk tujuan pengurangan emisi mereka. Kasus double counting pernah terjadi pada bursa karbon Uni Eropa pada tahun 2010, yang mengakibatkan bursa ditutup sementara dan regulasi diubah.
Ketentuan Penyelenggaraan Bursa Karbon
Artikel tersebut juga menyebutkan penyelenggaraan Bursa Karbon di Indonesia dilakukan atas pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dilaksanakan oleh penyelenggara pasar yang mendapatkan izin dari OJK yaitu PT BEI melalui IDX Carbon. Pada prinsipnya, transaksi yang dilaksanakan pada IDX Carbon yaitu merupakan perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.
Jenis-jenis unit karbon yang dapat diperdagangkan melalui IDX Carbon terdiri dari 2 jenis yaitu PTBAE-PU (allowance market); dan SPE-GRK (offset market).
Unit karbon yang diperdagangkan berupa PTBAE-PU mengakomodir mekanisme allowance market atau sistem kuota dengan pembatasan pada periode tertentu. Sistem ini dikenal juga dengan mekanisme cap-and tradeyang umum dipergunakan dalam bursa karbon non-sukarela. Dalam mekanisme ini, pemerintah pertama-tama menetapkan “cap atau batasan” pada jumlah total emisi polutan yang dapat dilepaskan. Bagi pelaku usaha yang melewati cap tersebut dapat membeli unit karbon dari pelaku usaha lain yang memiliki kelebihan cap.
Sementara itu mekanisme perdagangan SPE-GRK dalam offset market atau yang lebih dikenal dengan karbon kredit merupakan sertifikat atas pengurangan emisi yang dilakukan oleh perusahaan atau kegiatan tertentu setelah melewati tahap Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Measurement, Reporting, and Verification), dan dicatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI.) SPE-GRK dapat diperdagangkan berdasarkan proyek melalui mekanisme Lelang, Marketplace, atau Negosiasi, di mana perusahaan dapat membeli dan menjual SPE-GRK tertentu melalui Bursa Karbon.
Selain itu, SPE-GRK juga dapat diperdagangkan berdasarkan jenis pengelompokan di pasar reguler. Di pasar ini, setiap SPE-GRK yang diperdagangkan di IDX Carbon akan diklasifikasikan sesuai dengan standar tertentu, dan pembeli akan mendapatkan detail proyek yang dibelinya setelah transaksi selesai.
Jenis-jenis Unit Karbon yang berupa PTBAE-PU dan SPE-GRK ini wajib dicatatkan terlebih dahulu dalam SRN PPI yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Direktorat Jenderal PPI KLHK). Sehingga untuk mendapatkan legalitas dari Unit Karbon yang dapat diperdagangkan dalam IDX Carbon diperlukan kerja sama antar-lembaga yang terkait, khususnya KLHK yang memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan mitigasi, adaptasi, penurunan emisi gas rumah kaca, penurunan dan penghapusan bahan perusak ozon, mobilisasi sumber daya, inventarisasi gas rumah kaca, monitoring, pelaporan dan verifikasi aksi mitigasi perubahan iklim serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan. (Red)