
Jakarta,corebusiness.co.id-Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani menyatakan, setidaknya ada empat persoalan yang dihadapi Indonesia jika negosiasi tarif imbal balik impor (resiprokal) sebesar 32 persen dengan Pemerintah Amerika Serikat (AS) gagal.
Ajib Hamdani mengungkapkan, Apindo telah memetakan kemungkinan-kemungkinan terburuk bagi perekonomian Indonesia, jika tarif 32 persen benar-benar dibelakukan AS pada 1 Agustus 2025. Setidaknya, terdapat empat masalah besar yang akan dihadapi Indonesia.
Ajib menyebutkan, permasalahan pertama, kemungkinan terburuk dampak kebijakan tarif AS ialah potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terutama di sektor padat karya. Hal itu mengingat sebagian besar komoditas ekspor yang dikirim ke AS diproduksi sektor padat karya.
Karena, kata Ajib, tarif impor yang tinggi akan berefek pada menurunnya permintaan dari pengusaha AS terhadap produk-produk Indonesia. Ini artinya pabrik Indonesia bakal menurunkan produksi, hingga akhirnya bisa berdampak pada berkurangnya kebutuhan tenaga kerja.
“Ketika neraca ekspor itu terkontraksi, maka akan jadi masalah lanjutan untuk Indonesia, misalnya ada potensi PHK,” jelas Ajib di Jakarta, seperti dikutip Selasa (15/7/2025).
Kedua, yaitu produk China akan akan membanjiri Indonesia. China yang dikenakan tarif 100 persen oleh AS kemungkinan akan mengalihkan pasarnya ke Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Permasalahan muncul ketika China berpotensi melakukan dumping atau menjual produknya ke luar negeri dengan harga lebih murah.
“Jika praktik dumping dilakukan, maka Indonesia berpotensi kalah daya saing karena barang-barang dari China lebih berkualitas yang dipasarkan lebih murah,” ungkapnya.
Ia mengakui bahwa China merupakan trendsetter sektor industri dan manufaktur yang mempunyai keunggulan kompetitif. Mulai dari energi yang murah, kemudahan infrastruktur, clustering bisnis per bisnis, serta tenaga kerja dengan produktivitas tinggi.
Ketiga, dampak tarif AS akan menjadi masalah bagi nilai tukar rupiah. Rupiah berpotensi volatile di hadapan dolar AS sejalan dengan adanya potensi neraca dagang yang terkontraksi akibat kebijakan tarif AS.
“Kita lihat tahun 2025 di kerangka ekonomi makro, pemerintah hanya mematok rupiah sebesar Rp 16.000 per dolar AS. Nah, ketika nilai terus tereskalasi, maka ini akan jadi masalah tersendiri,” jelasnya.
Keempat, lanjut Ajib, PMI Manufaktur semakin turun. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami deindustrialisasi yang disebabkan kombinasi faktor domestik dan global.
Terlepas dari hasil negosiasi tarif, Ajib mengatakan, saat ini momentum tepat bagi Indonesia untuk memperkuat hubungan bilateral maupun multilateral dengan negara lain.
“Misalnya, mempercepat hubungan dengan negara-negara Asean, BRICS, dan Uni Eropa,” sarannya.
Perundingan Intensif
Seperti diketahui, Presiden AS, Donald Trump telah mengirimkan surat kepada Presiden RI, Prabowo Subianto pada 7 Juli 2025. Isi surat tentang pengenaan tarif resiprokal terhadap Indonesia sebesar 32 persen. Namun, AS masih memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk melakukan negosiasi dengan AS sebelum tarif tersebut diberlakukan 1 Agustus 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mewakili Pemerintah Indonesia telah melakukan pertemuan dengan Pemerintah AS yang diwakili oleh U.S. Secretary of Commerce, Howard Lutnick dan United States Trade Representative, Jamieson Greer, pada Rabu (9/7/2025).
Lutnick dan Greer merupakan dua pejabat AS yang memang mempunyai kewenangan dan tugas dalam pembahasan tarif resiprokal.
Dalam pertemuan tersebut, Airlangga menyampaikan apresiasi atas proses negosiasi yang selama ini berjalan konstruktif dengan pihak AS. Perundingan telah mencapai kemajuan dan kesepakatan-kesepakatan yang mencakup mengenai isu-isu tarif, hambatan nontarif, ekonomi digital, keamanan ekonomi, serta kerja sama komersial dan investasi.
Sesuai dengan Surat dari Presiden Trump dimaksud, Indonesia dan AS sepakat untuk mengintensifkan kembali perundingan tarif dalam tiga minggu ke depan–sampai menjelang tanggal pemberlakuan 1 Agustus 2025– untuk memastikan hasil terbaik bagi kedua belah pihak.
“Kita sudah memiliki pemahaman yang sama dengan AS terkait progres perundingan. Kita akan mengoptimalkan waktu dalam tiga minggu ke depan, untuk secara intensif merundingkan lebih lanjut dan menuntaskan perundingan tarif ini dengan prinsip yang saling menguntungkan,” kata Airlangga.
Menurutnya, perundingan kali ini berjalan sangat baik dan konstruktif, sama dengan beberapa perundingan sebelumnya, dengan memberikan ruang untuk membuat kesepakatan lebih lanjut, baik yang terkait dengan besaran tarif resiprokal maupun offer yang disampaikan Indonesia.
“Kita ingin meningkatkan hubungan komersial Indonesia dengan AS. Beberapa hari lalu, perusahaan-perusahaan Indonesia di bidang energi dan pertanian telah menandatangani MoU dengan perusahaan-perusahaan dan asosiasi usaha AS untuk pembelian produk unggulan AS dan mendorong peningkatan investasi,” terangnya.
Indonesia dan AS juga melihat potensi besar untuk memperluas kembali kerja sama di sektor strategis seperti mineral kritis (critical minerals).
“Pihak AS menunjukkan ketertarikan yang kuat untuk mendorong kemitraan di bidang critical minerals. Indonesia memiliki cadangan besar nikel, mangan, kobalt, dan tembaga. Kita perlu mengoptimalkan potensi kerjasama dan investasi dalam pengolahan critical minerals tersebut bersama-sama,” imbuhnya.
Pihak Indonesia dan AS telah sepakat untuk mengoptimalkan waktu beberapa minggu ke depan, untuk secara intensif melanjutkan proses perundingan kebijakan tarif resiprokal ini, dengan saling menghormati penawaran dan permintaan dari masing-masing pihak, untuk menjadi dasar dalam menetapkan kebijakan tarif resiprokal dan memperkuat kerja sama perdagangan dan investasi antarkedua negara. (Rif)