
“BUMN yang semestinya berfokus pada transformasi bisnis kini dihadapkan pada dua ‘atasan’ yang berbeda. Hal ini bisa berimplikasi negatif pada kecepatan eksekusi dan konsistensi manajemen risiko,” terangnya.
Kedua, dari sisi anggaran, Kementerian BUMN memiliki pagu belanja sebesar Rp308 miliar pada 2024. Dalam konteks efisiensi belanja negara dan penguatan produktivitas fiskal, mempertahankan kementerian yang tidak lagi memiliki fungsi strategis utama merupakan beban yang kurang relevan.
Ketiga, fungsi penyelamatan BUMN yang bermasalah bisa dialihkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang telah memiliki mandat serta pengalaman dalam restrukturisasi.
“Dengan dukungan kerangka hukum yang diperkuat, PPA bisa menjalankan peran sebagai resolution entity yang efektif,” pungkasnya.
Keempat, penghapusan Kementerian BUMN dapat menyederhanakan jalur birokrasi BUMN, memotong waktu pengambilan keputusan, dan mengurangi biaya koordinasi vertikal—selama ini menjadi salah satu faktor penghambat reformasi korporasi negara.
Kelima, dari perspektif global, banyak negara dengan portofolio BUMN besar tidak lagi mengandalkan kementerian sebagai pengelola. Singapura dengan Temasek, Malaysia dengan Khazanah, Norwegia dengan NBIM—semuanya mempercayakan pengelolaan aset negara pada entitas investasi profesional yang independen dari birokrasi negara.
“Tentu, membubarkan kementerian bukan langkah sederhana. Namun di tengah dorongan reformasi kelembagaan dan kebutuhan peningkatan efisiensi fiskal, opsi ini pantas untuk didalami lebih lanjut,” imbuhnya.
Karena itu, kata dia, pemerintah perlu membuka ruang diskusi terbuka mengenai reposisi peran Kementerian BUMN dan masa depan tata kelola BUMN pasca-Danantara. Tanpa kejelasan arah dan struktur, akan memunculkan berisiko kehadiran duplikasi kerja dan ketidakpastian di level manajemen BUMN.
“Yang paling berbahaya, kehilangan kesempatan untuk menata ulang pengelolaan aset negara dengan model yang lebih modern, efektif, dan profesional,” tukasnya. (Rif)