Kurtubi menyampaikan, sampai sekarang produksi migas di dalam negeri di bawah 600 ribu bph. Sebelum undang-undang ini diberlakukan, produksi migas sekitar 1,7 juta bph. Ketika itu Indonesia menjadi salah satu negara eksportir LNG terbesar di dunia, persisnya ketika sektor migas diatur berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
“Imbasnya, negara harus impor BBM dan LPG dalam jumlah besar, sebagai akibat UU Migas ini,” ujarnya.
Kurtubi menguraikan, sebelum muncul UU No.22 Tahun 2001, kuasa pertambangan diserahkan ke perusahaan negara, yakni Pertamina. Ketika itu produksi migas tinggi, Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar di dunia.
“Ketika itu, APBN sebesar 80 persen disumbangkan dari migas, pertumbuhan ekonomi tumbuh 7 persen tahun 1975, lalu naik menjadi 8,9 persen di tahun 1980. Ketika itu pertumbuhan ekonomi tinggi saat produksi migas tinggi. Sekarang, produksi minyak terus menerus turun,” tuturnya. (Rif)