Lain halnya dengan isotop uranium, disebutkan Tri Murni, untuk uranium-235 hanya 0,07 persen. Yang terbesar adalah kelimpatah isotop unarium 238 (uranium-238).
Ia menjelaskan, untuk menjadi bahan bakar uranium diperlukan proses yang panjang, seperti leaching yaitu ekstraksi padat cair, setelah itu dilakukan pemurnian uranium. Karena, uranium- 235 kadarnya rendah untuk menjadi bahan bakar nuklir, sehingga perlu diperkaya.
Untuk diketahui, uranium adalah unsur kimia dengan simbol U dan nomor atom 92. Ada tiga isotop uranium yang terdapat di alam: uranium-238, yang terberat dan paling melimpah, uranium-235, dan uranium-234. Uranium-235 adalah satu-satunya isotop yang mengalami fisi, yang dapat terfragmentasi di bawah pengaruh neutron.
Tri Murni mengutarakan, tidak semua grade uranium bisa dipakai untuk bahan bakar reaktor daya maupun reaktor riset, semua tergantung reaktornya. Itulah penyebab dari reaktor daya dengan bahan bakar uranium lebih mahal daripada thorium, karena limbah dari proses pemulihan dan pengayaan uranium yang sangat panjang, sehingga memerlukan biaya yang besar. Sementara isotop thorium 232 kelimpahannya di alam Indonesia 100 persen, sehingga tidak memerlukan pengayaan, karena sudah kaya.
“Untuk thorium cukup dimurnikan saja, tidak usah diperkaya, karena thorium sudah kaya kandungan untuk bahan bakar nuklir,” jelasnya.
Di satu sisi Tri Murni berharap BRIN melakukan penelitian terhadap uraium, untuk menghasilkan temuan layakkah semua kadar uranium menjadi bahan bakar nuklir. Di sisi lain, dia menyayangkan BRIN belum menerima tawaran kerja sama penelitian tentang energi nuklir yang pernah ditawarkan ThorCon.
“Mengapa waktu itu BRIN tidak menerima tawaran kerja sama penelitian dari ThorCon? Sementara ThorCon mau membiayai penelitian tersebut. Seandainya tawaran kerja sama Thorcon diterima BRIN, saat itu bisa memunculkan sekian banyak profesor dari Batan. Demikian juga PT ThorCon Power Indonesia, akan beruntung dengan hasil penelitian Batan,” ungkap Insyiur Nuklir dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 1983.
Tri Murni mengatakan, kelebihan PLTN untuk energi listrik di antaranya lebih bersih, karena tidak melepaskan emisi gas rumah kaca seperti CO2, NO2, dan SO2, yang menyebabkan global warming dunia ini menjadi panas.
“Dan dilihat dari sisi harga lebih murah dan aman,” pungkasnya. (Syarif)