
Proyeksi PLTN Pertama
Pemerintah juga telah mensahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Dokumen strategis ini dinilai tidak hanya menjadi pedoman operasional PLN, tetapi juga kunci pencapaian target serapan energi bersih nasional dan komitmen penurunan emisi karbon.
RUPTL 2025-2034 telah menetapkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 Giga Watt (GW). Dari total tersebut, 76 persen atau sekitar 52,9 GW bersumber dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sistem penyimpanan energi (storage). Proporsi EBT mencapai 42,6 GW (61 persen), storage 10,3 GW (15 persen), dan sisanya 16,6 GW (24 persen) berasal dari pembangkit fosil.
Rinciannya, kapasitas EBT terbagi atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 17,1 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 11,7 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) 7,2 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan pengenalan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebesar 0,5 GW.
Di antara energi berbasis EBT tersebut, PLTN belum pernah dibangun di Indonesia, karenanya di RUPTL disebutkan: tahap pengenalan.
Saat ini pemerintah sedang menyelaikan Struktur Satuan Tugas Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO), yang sempat mengalami perubahan. NEPIO dibutuhkan bagi negara yang akan membangun PLTN. Penetapan NEPIO dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).
Menurut konsultan nuklir dan cyber security, Bob S. Effendi, perubahan struktur pojka dalam NEPIO karena pembahasan yang sangat kompleks. Pemerintah juga berhati-hati dalam memastikan semua isu bisa terakomodasi.
“Yang terpenting adalah tahun ini keputusan harus terwujud, sehingga tahun depan bisa mulai bekerja. Jika sampai tahun depan belum ada kepastian, barulah bisa disebut berlarut-larut,” kata Bob S. Effendi kepada corebusiness.co.id, Rabu (22/10).
Bob berpandangan, selagi menunggu NEPIO disahkan, pemerintah terus membangun komunikasi dengan beberapa investor yang akan membangun PLTN di Indonesia. Jika ada pihak yang menyatakan minat membangun PLTN, maka pintunya adalah Kementerian ESDM, yang memiliki kewenangan terhadap pembangkit listrik. Sementara kewenangan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) terbatas pada aspek keselamatan, keamanan, dan pengawasan reaktor.
“Secara sederhana, Bapeten berfokus pada reaktor, sedangkan ESDM berfokus pada pembangkit listrik,” jelas Direktur PT Xpert Synergy Solution tersebut.
Untuk reaktor yang belum terbukti (not proven), kata dia, jalurnya memang harus melalui Bapeten lebih dahulu. Sedangkan untuk reaktor yang sudah terbukti (proven), prosesnya dimulai dari ESDM, baru kemudian ke Bapeten.
Ia menyebutkan beberapa hal yang perlu segera ditetapkan pemerintah untuk mengejar pembangunan dan pengoperasian PLTN tahap pertama di Indonesia. Pertama, penetapan Lokasi tapak PLTN pertama. Kedua, skema pembiayaan yang akan digunakan dalam pengadaan PLTN. Ketiga, ketentuan tarif listrik dari PLTN. Keempat, penentuan pihak yang akan membangun PLTN pertama. Kelima, segera membentuk NEPIO.
Terpisah, Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir, Bapeten, Haendra Subekti, mengatakan, jika sudah mengoperasikan PLTN, mungkin Indonesia berada di urutan ke-33 di dunia.
“Di dunia ini, yang sudah mengoperasikan PLTN sekitar 30-an negara. Jadi, jumlahnya masih sedikit. Maka, akan menjadi kebanggaan bagi Indonesia. Artinya, Indonesia sudah bisa mengoperasikan PLTN, dan Indonesia mempunyai kemampuan sejajar dengan 30 negara tersebut,” kata Haendra kepada corebusiness.co.id.
Haendra menyebutkan manfaat secara konkret pembangunan PLTN di Indonesia. Pertama, Indonesia ikut mengurangi terjadinya perubahan iklim yang kondisinya saat ini tidak menentu. Listrik dari energi nuklir pun ikut mengurangi penggunaan energi berbasis fosil yang mengandung karbon. Dan Indonesia telah menargetkan Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060.
Kedua, energi listrik dari nuklir harganya lebih kompetitif dibandingkan energi listrik berbasis batubara. Ketiga, PLTN tidak mengenal musim, pasokannya stabil terus. Bahkan energi listrik berbasis nuklir bisa bekerja stabil selama 2 tahun, sesudahnya dilakukan pergantian bahan bakar.
Selanjutnya keempat, PLTN menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Dengan demikian, maka akan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat Indonesia. Kelima, Indonesia bisa menguasai teknologi yang lebih kompleks.
Ia mengakui teknologi PLTN, memang, risikonya cukup tinggi. Dengan manajemen yang bagus, risiko tersebut bisa dikendalikan. Karena itu, semua pihak, termasuk SDM yang bekerja di sektor PLTN harus mempunyai komitmen melaksanakan protap dan standardisasi keselamatan yang sama. Jika ada yang menyimpang, segera dilaporkan.
“Jadi, ada kebanggaan jika Indonesia bisa mengoperasikan PLTN. Derajat Indonesia bisa terangkat di mata internasional. Dan Indonesia bisa duduk sejajar dengan negara-negara yang telah mengoperasikan PLTN,” pungkasnya.