
Dua, mendukung co-firing biomassa di PLTU untuk mengurangi intensitas karbon.
Tiga, mempromosikan penggunaan teknologi Ultra Super Critical (USC) yang lebih efisien dan rendah emisi.
Empat, mengajak anggota mengadopsi standar Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam rantai pasok batubara.
“Kami meyakini bahwa transisi energi tidak bisa meninggalkan batubara begitu saja, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan yang adil (just transition) dan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur nasional,” tuturnya.
Berdasarkan catatan ASPEBINDO, batubara masih menjadi salah satu komoditas penyumbang devisa dan penerimaan negara terbesar untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada tahun 2023, misalnya, kontribusi batubara mencapai lebih dari Rp 100 triliun untuk PNBP, atau hampir 40 persen dari total PNBP sektor ESDM. Sementara dari ekspor batubara, menyumbang puluhan miliar dolar ke neraca perdagangan Indonesia, mendukung stabilitas nilai tukar dan APBN.
Anggawira menegaskan, penambahan PLTU dalam RUPTL harus dipandang bukan sebagai langkah mundur, tetapi sebagai penjaga stabilitas energi nasional sambil membuka ruang transformasi industri energi yang lebih inklusif dan realistis.
“Kami siap terus berkolaborasi dengan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa batubara berperan dalam cara yang cerdas, efisien, dan bertanggung jawab,” pungkasnya. (Syarif)