
Menurutnya, PLTU tetap menjadi backbone kelistrikan Indonesia, khususnya untuk wilayah dengan keterbatasan jaringan EBT dan logistik. Dia menyebutkan, selama ini, PLTU menyumbang lebih dari 60 persen bauran energi nasional.
“Ke depan, kita perlu mengelola transisinya dengan bertanggung jawab, bukan meniadakannya secara abrupt,” ucapnya.
Anggawira menyampaikan, hingga tahun 2024, konsumsi batubara domestik (DMO) untuk PLTU berkisar di angka 125–135 juta ton per tahun, dari total produksi nasional yang berada di atas 700 juta ton. Dengan tambahan 16,6 GW kapasitas PLTU, secara kasar dapat diproyeksikan kebutuhan tambahan batubara mencapai sekitar ±80–100 juta ton per tahun–tergantung efisiensi pembangkit, kualitas batubara, dan kapasitas operasi aktual.
“Ini tentu membuka ruang investasi, produksi, dan penguatan rantai pasok batubara nasional dengan tetap menjaga prinsip tata kelola lingkungan yang baik.” ujarnya.
Adapun jenis batubara yang digunakan sebagai bahan baku energi PLTU di Indonesia, disebutkan Anggawira, umumnya menggunakan batubara dengan spesifikasi kadar kalori 4.200–5.500 kcal/kg GAR, kadar abu rendah hingga sedang, kadar sulfur < 1 persen (untuk menjaga emisi SOx, dan mayoritas jenis sub-bituminous hingga low-rank coal.
“Beberapa PLTU didesain secara spesifik agar optimal menggunakan batubara lokal,” imbuh Sekretaris Jenderal BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) tersebut.
Ia menambahkan, sebagai asosiasi pemasok energi mineral dan batubara, ASPEBINDO mendukung penuh transformasi energi nasional yang inklusif dan terukur. Beberapa langkah nyata yang dilakukan asosiasi ini antara lain:
Satu, mendorong hilirisasi batubara, seperti gasifikasi menjadi DME, methanol, dan syngas sebagai substitusi LPG dan bahan bakar industri.