160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
160 x 600 PASANG IKLAN
750 x 100 PASANG IKLAN

Deputi Bapeten, Haendra Subekti: Perubahan Iklim Mengharuskan Energi Nuklir Hadir di Indonesia

Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Haendra Subekti, S.T., M.T., Foto: corebusiness.co.id/Syarif
750 x 100 PASANG IKLAN

Jakarta,corebusiness.co.id-Persepsi masyarakat awam bisa jadi liar begitu mendengar kata “nuklir”. Di balik kesan angker, nuklir bisa dimanfaatkan untuk membantu berbagai aktivitas manusia. Salah satunya, untuk energi listrik yang murah, aman, dan bersih terhadap lingkungan.

Berdasarkan catatan sejarah, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di dunia adalah EBR-I yang beroperasi pada 20 Desember 1951 di dekat Arco, Idaho, Amerika Serikat. Sesudahnya, dibangun PLTN APS-1 Obninsk (Pembangkit Listrik Tenaga Atom 1 Obninsk) di Obninsk, Uni Soviet, yang beroperasi pada 27 Juni 1954. Sementara PLTN skala komersial pertama adalah Calder Hall di Inggris yang dibuka pada 17 Oktober 1956. Hingga kini, PLTN sudah dibangun dan beroperasi di beberapa negara.

Bagaimana di Indonesia? Sudah ada keinginan membangun PLTN. Setidaknya Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045. Undang-undang ini mengamanatkan PLTN pertama beroperasi antara tahun 2030-2034.

Pemerintah Indonesia juga menargetkan Net Zero Emission (NZE) tahun 2060. Lantaran itu, beberapa tahun belakangan ini digaungkan penggunaan raw material selain fosil, yang diolah menjadi produk setengah jadi (intermediate goods) atau produk jadi (end product) untuk komponen energi hijau (green energy).

750 x 100 PASANG IKLAN

Saat ini sudah berkembang penggunaan energi intermiten atau disebut sebagai variable renewable energy (VRE) atau intermittent renewable energy sources (IRES), seperti dari surya dan angin. Di jalan raya bahkan sudah banyak kendaraan listrik (electric vehicle), yang menggunakan energi baterai berbasis lithium, ferro, phosphate (LFP). Pemerintah sedang mengembangkan baterai kendaraan listrik berbasis nikel, mangan, cobalt (NMC), yang dinilai lebih ramah lingkungan.

Pun raw material thorium dan uranium yang dimiliki Indonesia, bisa dijadikan bahan baku energi PLTN, yang dinilai paling bersih dari karbon. Sehingga bisa dijadikan salah satu energi untuk menekan pemanasan global akibat penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi, dan kegiatan industri.

“Perubahan iklim mengharuskan energi nuklir hadir di Indonesia,” kata Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Haendra Subekti, S.T., M.T., kepada corebusiness.co.id di ruang kerjanya, Selasa (12/11/2024).

Bapeten adalah Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden. Bapeten didirikan pada 8 Mei 1998 dan mulai aktif pada 4 Januari 1999. Tugas Bapeten, yaitu membuat peraturan, menerbitkan izin, melakukan inspeksi, menegakkan peraturan, menyusun rencana nasional di bidang pengawasan tenaga nuklir, merumuskan kebijakan di bidang pengawasan tenaga nuklir, dan menetapkan persyaratan akreditasi dan sertifikasi di bidang pengawasan tenaga nuklir.

750 x 100 PASANG IKLAN

 

“Salah satu tugas itu ada di Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir. Deputi ini mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang pengawasan tenaga nuklir. Sebelum membuat peraturan, deputi ini melakukan kajian-kajian. Artinya, fokus deputi ini di bidang perumusan kebijakan yang akan digunakan dalam pengaturan ketenaganukliran, baik dalam pemanfaatan maupun pengawasan,” tutur Haendra.

Tiga Aspek Utama

Haendra memaklumi munculnya kekhawatiran masyarakat, jika di daerahnya dibangun PLTN.  Karena itu, untuk nuklir, ada tiga aspek utama yang menjadi concern Bapeten maupun Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), yaitu keselamatan (safety), keamanan (security), dan garda-aman (safeguards).

750 x 100 PASANG IKLAN

Yang dimaksud keselamatan, Haendra menjelaskan, bagaimana sebuah kegiatan, pemanfaatan, atau fasilitas nuklir menjamin keselamatan, terutama dari bahaya radiasi pengion. Sehingga, ketika terjadi masalah keselamatan, bisa dicegah dan dimitigasi secepat mungkin, dan tidak membahayakan pekerja, masyarakat, serta lingkungan hidup.

Sementara keamanan, lanjutnya, upaya mencegah orang atau pihak yang akan melakukan pencurian atau pemindahan bahan nuklir atau zat radioaktif secara tidak sah. Atau mencegah orang-orang yang akan melakukan sabotase, baik terhadap fasilitas nuklir maupun fasilitas radiasi.

“Garda-aman adalah mencegah penggunaan bahan nuklir untuk tujuan yang tidak damai. Misalnya digunakan untuk senjata, baik senjata nuklir atau senjata radiologi,” jelasnya.

Indonesia sendiri telah menandatangani Traktat Non-proliferasi (Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons/NPT) yang diratifikasi dalam UU No.8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir. Dengan ini, Indonesia berkomitmen untuk tidak membuat senjata nuklir atau peralatan peledak nuklir lainnya.  Selain itu, Indonesia telah menandatangani Traktat Pelarangan Senjata Nuklir ini (Treaty on the Prohibition on Nuclear Weapons/TPNW). Traktat ini dibentuk pada 7 Juli 2017 untuk mengatur pengembangan, kepemilikan, hingga penggunaan nuklir bagi negara anggotanya.

Haendra menekankan, perusahaan yang ingin membangun PLTN di Indonesia harus mengajukan permohon izin pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir, serta dekomisioning. Permohonan secara tertulis kepada Kepala Bapeten dan memenuhi persyaratan izin.

Disebutkan, persyaratan izin meliputi persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan persyaratan finansial sebagaimana diatur dalam PP No.5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

Persyaratan administratif, di antaranya melengkapi badan hukum perusahaan, izin hak atas tanah, sertifikat penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, hingga izin usaha penyediaan tenaga listrik dari kementerian terkait. Persyaratan finansial, di antaranya jaminan finansial untuk konstruksi, jaminan finansial pertanggungjawaban kerugian nuklir, dan jaminan finansial untuk dekomisioning.

Lalu, persyaratan teknis, seperti izin tapak yang meliputi laporan pelaksanaan evaluasi tapak, laporan pelaksanaan sistem manajemen evaluasi tapak, daftar informasi desain (DID), dan dokumen yang memuat data utama reaktor nuklir.

Klasifikasi Reaktor Nuklir

Berdasarkan catatan Haendra, saat ini sebagian besar reaktor nuklir adalah generasi ke-3 dan generasi ke-3 plus. Sementara reaktor nuklir generasi ke-4 berupa small modular reactor, masih dalam pengembangan menuju tahap komersialisasi.

“Skala reaktor nuklir ada yang berukuran large, klasifikasinya di atas 300 Megawatt electric hingga 1.400 Megawatt electric.  Klasifikasi reaktor 1.400 Megawatt electric sudah dibangun di Uni Emirat Arab dan Korea Selatan. Kemudian ada skala small modular, di bawah 300 Megawatt electric,” ucap Haendra.

Proses produksi energi listrik reaktor nuklir. Foto: Istw

Khusus reaktor nuklir generasi ke-4, sudah ditambah kelengkapan standar keselamatan pasif.  Maksudnya, jelas Haendra, ketika terjadi kecelakaan seperti di Fukushima, secara otomatif reaktor nuklir tersebut dapat melakukan pendinginan secara alami , tidak memerlukan pasokan listrik dari luar, misalnya generator listrik darurat.

Ia mengemukakan, pada prinsip kerja reaktor PLTN tidak jauh berbeda dengan PLTU berbasis batubara. Perbedaannya, hanya bagian pembakaran pada boiler. Boiler PLTU menggunakan batubara, sementara boiler PLTN menggunakan reaksi nuklir sebagai sumber panas.

Menurutnya, bahan bakar nuklir yang mengalami reaksi fisi yang menghasilkan panas dalam skala temperatur tertentu, dan menimbulkan radiasi tinggi. Untuk mencegah bahaya radiasi, maka PLTN harus memiliki dan memenuhi standard keselamatan dan keamanan internasional.

“Semua teknologi PLTN ada risiko. Karena itu, sejak awal sudah dilakukan pencegahan atau dimitigasi supaya tidak menimbulkan risiko. Semua standar keselamatan dan keamanan berbicara pencegahan,” pungkasnya.

Berdasarkan catatan Haendra, ada tiga kecelakaan nuklir di dunia. Pertama, kecelakaan nuklir di Three Mile Island Unit 2 , Amerika Serikat tahun 1970-an. Kedua, kecelakaan Chernobyl di Uni Soviet pada 26 April 1986. Ketiga, gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 menyebabkan kecelakaan serius di PLTN Fukushima Daiichi di pantai timur laut Jepang.

Untuk kondisi PLTN sekarang ini, Haendra berpandangan potensi kecelakaannya sangat kecil. Faktornya, dari tiga PLTN yang mengalami kecelakaan tersebut, permasalahan berbeda-beda. Musibah nuklir di Three Mile Unit 2, Amerika Serikat, akibat human eror. Chernobyl di Uni Soviet pun kemungkinan akibat human eror. Selain itu, teknologi reaktor nuklir yang digunakan berbeda dengan teknologi yang digunakan di negara-negara Eropa. Sementara kejadian PLTN Fukushima Jepang, akibat bencana alam dan tsunami.

Berdasarkan pengalaman kejadian pada ketiga reaktor nuklir tersebut, masih menurut Haendra, potensi kecelakaan itu sudah direduksi dengan standardisasi keselamatan dan keamanan yang diberlakukan secara internasional.

Haendra mengungkapkan, saat ini hampir semua PLTN menggunakan uranium. PLTN berbasis thorium pernah digunakan Amerika Serikat di tahun 60-an, belakangan tidak dikembangkan.

“Uranium ada dua macam, yaitu uranium alam dan uranium diperkaya. Uranium alam adalah uranium dengan kadar uranium-235 sebesar 0,7 persen.  Contohnya, reaktor PLTN di Kanada menggunakan uranium alam. Sementara PLTN berbasis uranium diperkaya, umumnya berkadar 4 persen dan  5 persen uranium-235. Rata-rata PLTN yang ada saat ini berbasis uranium diperkaya,” tuturnya.

Untuk memperkaya uranium dibutuhkan teknologi khusus. Saat ini, beberapa negara sudah mempunyai teknologi memperkaya uranium, salah satunya Jepang.

Thorium bisa digunakan untuk PLTN. Namun, kata Haendra, thorium tidak bisa menjadi bahan bakar sendiri, dia harus bersama-sama uranium. Karena uranium dapat memicu reaksi nuklir.

 

Menukil International Atomic Energy Agency (IAEA) atau Badan Tenaga Atom Internasional, yang berkantor pusat di Wina, Austria, menyebutkan, energi nuklir adalah bentuk energi yang dilepaskan dari nukleus, yakni inti atom yang terdiri dari proton dan neutron. Sumber energi ini dapat dihasilkan dengan dua cara. Pertama,  dengan cara fisi, ketika inti atom terpecah menjadi beberapa bagian. Kedua, dengan cara fusi, ketika inti bergabung bersama.

Menurut IAEA, energi nuklir yang dimanfaatkan di seluruh dunia saat ini untuk menghasilkan listrik adalah melalui fisi nuklir, sedangkan teknologi untuk menghasilkan listrik dari fusi berada pada fase research and development (R&D).

Fisi nuklir adalah reaksi di mana inti atom membelah menjadi dua atau lebih, menjadi inti yang lebih kecil, sambil melepaskan energi. Misalnya, ketika terkena neutron, inti atom uranium-235 terpecah menjadi inti barium dan inti kripton ditambah dua atau tiga neutron.

Neutron ekstra ini akan mengenai atom uranium-235 lain di sekitarnya, yang juga akan membelah dan menghasilkan neutron tambahan dalam efek penggandaan, sehingga menghasilkan reaksi berantai dalam sepersekian detik. Setiap kali reaksi terjadi, terjadi pelepasan energi dalam bentuk panas dan radiasi. Panas dapat diubah menjadi listrik di pembangkit listrik tenaga nuklir, mirip dengan bagaimana panas dari bahan bakar fosil seperti batu bara, gas, dan minyak digunakan untuk menghasilkan listrik. (Syarif)

 

750 x 100 PASANG IKLAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait
930 x 180 PASANG IKLAN
PT. ANINDYA WIRAPUTRA KONSULT

Promo Tutup Yuk, Subscribe !