
Pun kita lihat dari RKAB perusahaan batubara yang diterbitkan Kementerian ESDM meningkat dibandingkan tahun lalu. Terget produksi batubara tahun 2025 hampir menyetuh 800 juta metric ton. Saya melihat prospek batubara masih sangat baik.
Tentunya tren kebutuhan batubara sangat berkaitan dengan kebutuhan global. Saat ini, memang, terjadi perang dagang, kondisi global yang tidak menentu, sehingga ekonomi tidak bertumbuh progresif, maka bisa menurunkan demand batubara.
Batubara menjadi salah satu komoditas global yang bisa substitusi dengan produk bahan baku energi lainnya. Bisa disubstitusi dengan minyak dan gas dan bahan baku energi lainnya. Namun, dalam kondisi tertentu, misalnya, saat harga gas dan minyak sedang tinggi, demand batubara bisa meningkat.
Sebaliknya, ketika harga gas dan minyak cenderung turun, orang akan menggunakan minyak dan gas untuk sumber energi. Otomatis harga batubara akan terkoreksi. Jadi, ada equilibrium. Tapi, saya melihat pasca Covid tren harga batubara cenderung stabil.
Bagaimana tren bisnis pelaku usaha mineral di Aspebindo?
Pelaku usaha mineral yang tergabung di Aspebindo ada yang bergerak di sektor nikel, timah, bauksit, dan komoditas mineral lainnya. Selain itu, ada juga trader dan perusahaan yang bergerak di bidang ekosistem supply chain migas. Sejauh ini keanggotaan Aspebindo dominan pelaku usaha batubara. Kami terbuka bagi perusahaan yang bergerak di bidang bisnis lain berkolaborasi dengan Aspebindo.
Segmen pemasaran komoditas dari anggota Aspebindo untuk domestik dan mancanegara?
Pelaku usaha di Aspebindo backbone-nya lebih banyak bergerak di bidang supplier dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Jika dipersentase, marketnya sekitar 80 persen dalam negeri dan 20 persen ke negara lain.
Presiden Trump menunda penerapan tarif timbal balik (resiprokal) selama 90 hari. Jika diterapkan, akan memberi pengaruh bagi pelaku usaha di Aspebindo?
Sampai saat ini kita masih wait and see. Sepengetahuan saya pelaku usaha di Aspebindo belum mengekspor komoditasnya ke Amerika. Namun demikian, jika tarif baru diberlakukan Presiden AS Donald Trump, bisa memberikan dampak cukup luas tidak hanya bagi Indonesia, tapi negara lain.
Produk ekspor dari Indonesia ke AS umumnya berupa padat karya, seperti tekstil. Posisinya, Indonesia malah lebih banyak impor energi dari AS. Kalau dari sisi energi, sebenarnya necara perdagangan Indonesia ke AS desifit dibandingkan perdagangan AS ke Indonesia.