Diutarakan, teknologi HPAL memerlukan suhu tinggi (~255 °C) dan tekanan tinggi (~725 psi) dengan penggunaan asam sulfat, serta menghadapi tantangan pengelolaan limbah berbahaya dan intensitas energi yang tinggi (IEEFA, 2024).
Meskipun investasi asing, terutama dari Tiongkok, telah membawa masuk fasilitas smelter dan HPAL, penguasaan teknologi inti ini masih sangat terbatas di tangan domestik.
“Keterbatasan lain yang signifikan adalah rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Indonesia masih kekurangan insinyur metalurgi, peneliti material, serta teknisi vokasi yang sejalan dengan kebutuhan industri,” bebernya.
Teknologi OESBFS
Merespons semakin menurunnya kadar saprolit dan masih sedikitnya industri pengolahan dan pemurnian (smelter) limonit, anak perusahaan Tonghua Jianxin Group, Hainan Jianxin Zhuohuan New Material Science & Technology Co. Ltd., telah mengembangkan teknologi untuk melebur bijih nikel laterit menjadi high nickel matte menggunakan sistem teknologi Oxygen Enriched Side Blowing Furnace System (OESBFS).

General Manager Tonghua Jianxin Indonesia, Bruce Lan menyampaikan, teknologi OESBFS memiliki keunggulan seperti penerimaan bahan baku bijih nikel yang lebih luas, konsumsi daya yang lebih rendah, limbah pengolahan yang tidak beracun (Non-Toxic Processing Residues), efisiensi yang lebih tinggi, serta mempercepat pencapaian titik impas (Break-Even Point/BEP).
Bruce Lan mengungkapkan, smelter yang beroperasi di Indonesia saat ini didominasi oleh teknologi pirometalurgi tradisional (proses pengolahan bahan baku > pengeringan material > pengolahan material > tanur putar > peleburan listrik) daripada teknologi hidrometalurgi seperti HPAL. Produk akhir berupa feronikel umumnya digunakan untuk industri baja tahan karat.
“Kami mendukung Pemerintah Indonesia untuk pemanfaatan cadangan bijih nikel kadar rendah, seperti limonit yang berasal dari tambang saprolit, perlu didorong untuk memperkuat keberlanjutan cadangan dan penggunaannya,” kata Bruce Lan kepada corebusiness.co.id.
Bruce Lan mengatakan, smelter yang mengaplikasikan OESBFS bisa mengolah limonit menjadi high nickel matte dari bahan baku limonit mulai dari kadar 1,0 persen ke atas.
Prosesnya melibatkan pengeringan bijih limonit hingga tingkat kelembaban 20-26 persen, pemanggangan material kering di sistem tanur putar, kemudian dimasukkan ke dalam tanur tiup samping dengan oksigen untuk menghasilkan nickel matte.

Teknologi OESBFS juga efisien dalam penggunaan energi. OESBFS bisa menghemat 60 persen penggunaan energi dalam proses pembakaran di tungku atau furnace. Selain itu, otomatisasi OESBFS tingkat tinggi, di mana seluruh proses peleburan mengadopsi kontrol terpusat di distributed control system (DCS), mulai dari sistem batching, distribusi gas, sirkulasi air, dan sistem lainnya. Semuanya dikontrol dari jarak jauh.
Bruce Lan menyebutkan, smelter berbasis OESBFS membutuhkan waktu konstruksi yang relatif singkat. Satu lini produksi mampu menghasilkan 12.000 ton high nickel matte per tahun dengan investasi sekitar US$ 130 juta dan waktu konstruksi kurang lebih 24 bulan. Titik impas yang cepat membuat investasi ini menjadi target yang menarik bagi para investor.
“Hal yang menjadi perhatian penting bagi kami, aplikasi teknologi OESBFS tidak menghasilkan limbah beracun. SHP bisa diolah kembali menjadi bahan baku untuk pembuatan batako, pengeras aspal, dan lainnya,” pungkasnya. (Rif)