
Jakarta,corebusiness.co.id-Wall Street Journal, pada Minggu (27/4/2025), melaporkan Huawei Technologies Co., Ltd., Tiongkok tengah bersiap untuk menguji prosesor kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) terbarunya paling canggih, yang disebut Ascend 910D. Produk ini diharapkan dapat menggantikan beberapa produk kelas atas dari raksasa chip AS Nvidia (NVDA.O).
Perusahaan teknologi yang berpusat di Shenzhen, Guangdong, Tiongkok itu berharap iterasi terbaru dari prosesor AI Ascend 910D akan lebih kuat daripada H100 milik Nvidia. Sampel pertama dari prosesor tersebut dijadwalkan selesai paling cepat akhir Mei.
Nvidia Corporation adalah perusahaan teknologi multinasional AS yang didirikan di Delaware dan berbasis di Santa Clara, California. Perusahaan tersebut merancang unit pemroses grafis (GPU) untuk pasar gim dan profesional, serta unit system on a chip (SoC) untuk komputasi seluler dan pasar otomotif.
Sebelumnya, Reuters melansir berita bahwa Huawei berencana untuk memulai pengiriman massal chip kecerdasan buatan 910C yang canggih kepada pelanggan China paling cepat bulan depan. Huawei dan rekan-rekannya di China telah berjuang selama bertahun-tahun untuk menyamai Nvidia dalam membangun chip kelas atas yang dapat bersaing dengan produk-produk perusahaan AS tersebut untuk model pelatihan, sebuah proses di mana data dimasukkan ke dalam algoritma untuk membantu mereka belajar membuat keputusan yang akurat.
Berusaha membatasi perkembangan teknologi Tiongkok, khususnya kemajuan di bidang militer, Washington telah melarang Tiongkok menggunakan produk AI tercanggih Nvidia, termasuk chip andalannya B200. Chip H100, misalnya, dilarang dijual di Tiongkok pada tahun 2022 oleh otoritas AS bahkan sebelum diluncurkan.
Diduga Spionase
Untuk diketahui, Huawei Technologies Co., Ltd., didirikan oleh Ren Zhengfei, mantan Deputi Komandan Resimen di Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok, tahun 1987.
Di awal-awal pendirian Huawei, berfokus memproduksi switch telepon. Huawei kemudian berekpansi dengan memproduksi jaringan telekomunikasi, menyediakan jasa konsultasi dan operasional dan peralatan untuk perusahaan di Tiongkok maupun di luar Tiongkok, serta memproduksi perangkat komunikasi untuk pasar ritel.
Mengalami perkembangan bisnis, Huawei kemudian melebarkan menyediakan produk dan jasanya di lebih dari 170 negara. Sepak terjang bisnis Huawei bahkan sempat menyalip Ericsson sebagai produsen peralatan telekomunikasi terbesar di dunia, tahun 2012, dan menyalip Apple sebagai produsen ponsel cerdas terbesar kedua di dunia, di bawah Samsung Electronics, tahun 2018.
Juli 2020, Huawei kembali menyalip Samsung dan Apple sebagai merek ponsel cerdas teratas di dunia untuk pertama kalinya.
Walaupun sukses secara internasional, Huawei mengalami kesulitan di sejumlah pasar, karena adanya dugaan dukungan negara yang tidak adil, keterkaitan dengan Tentara Pembebasan Rakyat, dan kekhawatiran keamanan siber. Dugaan itu terutama dari Pemerintah Amerika Serikat, yang mensinyalir peralatan infrastuktur buatan Huawei dapat memungkinkan pengawasan oleh Pemerintah Tiongkok.
Dengan berkembangnya jaringan nirkabel 5G, Pemerintah AS meminta negara-negara sekutunya agar tidak mengadakan bisnis apapun dengan Huawei maupun perusahaan telekomunikasi lain asal Tiongkok, seperti ZTE.
Tuduhan itu berusaha ditangkal Huawei. Perusahaan itu berpendapat bahwa produknya “tidak memiliki risiko keamanan siber lebih besar” daripada produk perusahaan lain, dan tidak ada bukti mengenai klaim spionase dari AS.
Namun pertanyaan mengenai kepemilikan dan kendali Huawei, serta kekhawatiran mengenai seberapa besar dukungan negara kepada Huawei pun tetap muncul. Huawei juga dituduh membantu pengawasan dan detensi massal Suku Uyghur di kamp pendidikan ulang Xinjiang. Akibatnya, Tiongkok menerima sanksi dari Departemen Luar Negeri AS.
Chip AI produk Huawei diakui canggih. Produk prosesor kecerdasan buatan ini bisa mendeteksi pengenalan wajah yang dapat mengenali ciri fisik khas dari sejumlah etnis untuk mengingatkan instansi pemerintah mengenai orang dari etnis tertentu. (Rif/bbs).