Jakarta,corebusiness.co.id-Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Haendra Subekti, mengungkapkan, Indonesia menjadi penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara. Jumlah makanan yang terbuang (food loss and waste) sebesar 23-48 juta ton per tahun.
Presiden Prabowo telah mencanangkan kemandirian bangsa melalui swasembada pangan sebagaimana tertuang dalam Asta Cita kedua. Di tahun pertama pemerintahannya, baru komoditas beras yang sudah memperlihatkan produksi signifikan. Bahkan pemerintah mengklaim sudah memenuhi swasembada beras.
Pemerintah terus mengupayakan komoditas pangan lainnya mengikuti jejak keberhasilan tanaman padi. Tentunya tidak hanya mengejar angka produksi, namun harus juga memperhatikan kualitas, seperti jaminan mutu, gizi, dan keselamatan untuk dikonsumsi.
Pasalnya, Bapeten mengungkap bahwa Indonesia menjadi penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara. Jumlah makanan yang terbuang (food loss and waste) sebesar 23-48 juta ton per tahun.
“Jika komoditas pangan yang dihasilkan terjaga kualitas dan keamanannya, salah satunya bisa dipergunakan untuk program bantuan pangan rakyat miskin, dan berdampak semakin berkurangnya kerugian ekonomi negara,” kata Haendra kepada corebusiness.co.id.
Haendra mengatakan, kemandirian pangan mempunyai keterkaitan kebijakan dengan program pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pemerintahan Presiden Prabowo.
Menurutnya, tingginya jumlah makanan yang terbuang bisa disebabkan beberapa faktor. Pertama, kualitas ruang penyimpanan bahan baku pangan yang kurang optimal. Kedua, kurangnya implementasi Good Handling Practice (GHP). Ketiga, kurangnya informasi dan edukasi pekerja pangan dan konsumen. Keempat, teknik panen yang kurang baik.
“Kondisi saat ini, pemanfaatan teknologi untuk pengawetan pangan belum masif dan minat investasi swasta untuk industri pengawetan masih rendah,” ungkap Haendra.
Terhadap kondisi-kondisi tersebut, Bapeten menggagas membangun ekosistem pemanfaatan teknologi iradiasi pangan untuk memperkuat ketahanan pangan dan ekonomi nasional melalui program pengurangan pemborosan serta peningkatan ekspor pangan segar.
“Iradiasi pangan adalah teknik soft dan noninvasif yang menggunakan radiasi untuk menjaga makanan agar tetap segar dan aman dikonsumsi,” jelasnya.
Haendra mencontohkan manfaat iradiasi pangan, dapat menghilangkan mikroba dan mengendalikan serangga serta hama lainnya sekaligus menjaga kandungan nutrisi, rasa, dan kualitas makanan secara keseluruhan. Teknologi ini juga dapat menghentikan penyebaran hama serangga, namun tidak mengubah suhu atau meninggalkan residu.
Bapeten berharap, implementasi pembangunan ekosistem iradiasi pangan dapat mengurangi pangan yang terbuang antara 10 persen-30 persen dan meminimalisir kerugian ekonomi nasional antara 10 persen-25 persen.
“Fasilitas iradiasi pangan ini bisa ditempatkan di pelabuhan ekspor dan sentra-sentra pangan,” imbuhnya.
Tahapan Program Iradiasi Pangan
Hendra mengatakan, pembangunan ekosistem iradiasi pangan butuh kolaborasi dari berbagai pihak terkait, baik kementerian dan lembaga pemerintah, hingga pihak swasta. Terlebih dibutuhkan investasi untuk fasilitas iradiasi.
Ia menjabarkan tahapan pembangunan ekosistem iradiasi pangan, mulai dari jangka pendek (2,5 bulan), jangka menengah (1 tahun), dan jangka panjang (2 tahun). Tahap jangka pendek, disebutkan Haendra, yaitu pembentukan tim, melakukan kajian-kajian kebijakan, menyusun naskah urgensi, menyusun rancangan awal Perpres, dan membangun kolaborasi dengan stakeholders.
Tahapan jangka menengah, yaitu menyelenggarakan konsultasi publik, penyusunan RPerpres, penetapan standardisasi kompetensi SDM, dan membangun jejaring pentahelix. Kemudian tahapan jangka panjang, di antaranya me-review perizinan, penyusunan dokumen Investment Project Ready to Offer (IPRO) berskala internasional, pembinaan stakeholders, dan kick-off rencana induk. (Rif)