Oleh: Dr Kurtubi
Presiden Prabowo Subianto menargetkan kebutuhan pangan nasional bisa sepenuhnya dipenuhi oleh produksi pangan dalam negeri secepatnya. Untuk itu program Ketahanan Pangan Nasional harus dipercepat mengingat pada akhirnya suatu saat dalam kondisi darurat dan mendesak, semua negara produsen atau pengekspor pangan akan mendahului pemenuhan kebutuhan pangan negaranya sendiri.
Demikian juga dengan target ketahanan energi yang seharusnya secepatnya tercapai. Di mana kebutuhan energi tidak lagi boleh tergantung dari energi impor. Namun, faktanya kondisi ketahanan energi negara kita saat ini sangatlah rawan dan mengkhawatirkan.
Saat ini yang terjadi dengan ketahanan. energi adalah terlalu tingginya ketergantungan pada energi impor, khususnya energi berbasis migas. Fakta data statistik BPS menunjukkan bahwa dari sepuluh jenis komoditas yang terbanyak diimpor dari luar negeri, justru ada tiga jenis barang impor yang merupakan komoditas energi migas.
Nilai impor BBM yang merupakan produk kilang luar negeri sebesar US$23,2 miliar, nilai impor minyak mentah (crude oil) bahan baku BBM yang diolah di kilang BBM dalam negeri (Pertamina) senilai US$10,1 miliar, dan nilai impor LPG siap pakai sebesar US$4,92 miliar. Sehingga total nilai ketergantungan pada energi migas impor mencapai sekitar US$38 miliar- US$40 miliar. Angka ini fluktuatif setiap tahun tergantung pada harga energi migas tersebut di pasar internasional dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang juga berfluktuatif.
Meskipun pada akhirnya sesuai dengan Paris Agreement on Climate Change yang sudah diratifikasi menjadi UU No.16 Tahun 2016, di mana Indonesia harus mengurangi pemakaian energi fossil (migas dan batubara) yang padat emisi karbon. Pemakaian energi fosil, khususnya migas tidak bisa serta merta dihapus dan diganti seketika dengan jenis energi bersih rendah karbon dari Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET).
Dalam Paris Agreement on Climate Change disepakati adanya masa transisi energi hingga tahun 2050, di mana pemakaian energi fosil masih diperbolehkan. Indonesia memutuskan masa transisi energi hingga tahun 2060. Hal ini berarti pemakaian energi migas masih bisa terus berlangsung hingga tahun 2060. Sehingga secara rasional, produksi migas harus ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan pada migas impor, sekaligus menaikkan penerimaan negara dan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Pasca masa transisi energi, migas bisa di dikonversi menjadi produk Petrokimia yang tetap dibutuhkan oleh ekonomi dunia. Tidak ada yang salah kalau pemerintah berupaya menaikkan produksi migas nasional.
Tentunya sambil mulai memperbanyak memanfaatkan sumber energi bersih dari EBET, termasuk energi nuklir yang hingga kini belum dimanfaatkan. Selain untuk memanfaatkan cadangan uranium dan thorium yang ada di Tanah Air, juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membangun PLTN. Mengingat listrik dari energi nuklir bersifat non-intermittent dan tidak membutuhkan energy storage yang besar dan mahal.
Mengingat potensi cadangan energi migas secara geologis masih sangat besar, karena dari sekitar 300 cekungan sedimen (sedimentary basins) baru sekitar separuhnya sudah eksplorasi secara intensif. Selain teknologi eksplorasi migas yang baru, yakni “oil and gas shale” sudah proven berhasil menaikkan produksi minyak Amerika dari 8 juta bph menjadi 15 juta bph. Teknologi ini belum dimanfaatkan di Indonesia.
Juga terdapat cadangan gas besar di Natuna Utara yang ditemukan puluhan tahun, hingga kini belum dikembangkan, antara lain disebabkan karena masih berlakunya UU Migas No.22 Tahun 2001. Dalam undang-undang ini, yang berhak mengembangkan cadangan gas besar yang ditemukan di sektor hulu adalah Menteri ESDM yang tidak eligible untuk mengembangkan cadangan gas secara langsung dengan membangun kilang LNG atau mengalirkan gas C1 dan C2 dengan pipa utuk dimanfaatkan di Kalbar, dan lain-lain. Selain adanya temuan cadangan gas besar di Aceh Utara yang perlu segera dikembangkan.
Sementara kita ketahui bahwa rendah dan terus turunnya produksi migas dalam negeri dalam dua dekade terakhir, ini yang menyebabkan ketahanan energi nasional sangat lemah.
Anjloknya produksi migas disebabkan oleh hadirnya UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang menciptakan sistem tata kelola migas sangat buruk dan tidak disukai oleh investor, bahkan belasan pasalnya inkonstitusional, karena sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK No. 36/ PUU–X/2012.
Rakyat mengetahui bahwa presiden dan menteri telah bersumpah atau berjanji untuk menghormati dan mentaati konstitusi UUD 1945 dan di dalamnya terdapat Pasal 33 yang mengatur bahwa kekayaan sumber daya alam yang ada di dalam bumi negara kita, termasuk migas harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-sebarnya kemakmuran rakyat
Untuk menaikkan produksi migas nasional agar tidak lagi tergantung pada migas impor, cara konstitusional dan rasional disarankan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut UU Migas No.22 Tahun 2001 dengan mengeluarkan Perppu. Mengingat DPR RI sudah tiga periode gagal merevisi UU Migas No.22 Tahun 2001.
Cara konstitusional dan rasional mencabut undang-undang yang tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, sudah dicontohkan oleh PM Ir. Djuanda ketika mencabut pemberlakuan UU Pertambangan Zaman Kolonial (Indische Mijnwet) di sektor migas dengan mengeluarkan Perppu, atas usulan anggota DPR asal Aceh, Tengku Muhammad Hasan. Kemudian DPR menerima Perppu tersebut dengan melahirkan UU Migas No.44/Prp/1960.
Sepuluh tahun kemudian, barulah keluar UU Pertamina No.8 Tahun 1971 yang melahirkan Pertamina sebagai pengelola migas nasional. Terbukti berhasil membawa sektor migas tidak hanya dapat menjamin kemandirian energi, di mana seluruh kebutuhan energi berasal dari dalam negeri. Juga berhasil membawa sektor migas menjadi sumber utama penerimaan negara/APBN dan berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional ke level tertinggi hingga 9,8% di tahun 1980.
Dr Kurtubi — Alumnus SMAN Mataram, FEUI Jakarta, IFP Perancis dan CSM Amerika.