Tentunya sambil mulai memperbanyak memanfaatkan sumber energi bersih dari EBET, termasuk energi nuklir yang hingga kini belum dimanfaatkan. Selain untuk memanfaatkan cadangan uranium dan thorium yang ada di Tanah Air, juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membangun PLTN. Mengingat listrik dari energi nuklir bersifat non-intermittent dan tidak membutuhkan energy storage yang besar dan mahal.
Mengingat potensi cadangan energi migas secara geologis masih sangat besar, karena dari sekitar 300 cekungan sedimen (sedimentary basins) baru sekitar separuhnya sudah eksplorasi secara intensif. Selain teknologi eksplorasi migas yang baru, yakni “oil and gas shale” sudah proven berhasil menaikkan produksi minyak Amerika dari 8 juta bph menjadi 15 juta bph. Teknologi ini belum dimanfaatkan di Indonesia.
Juga terdapat cadangan gas besar di Natuna Utara yang ditemukan puluhan tahun, hingga kini belum dikembangkan, antara lain disebabkan karena masih berlakunya UU Migas No.22 Tahun 2001. Dalam undang-undang ini, yang berhak mengembangkan cadangan gas besar yang ditemukan di sektor hulu adalah Menteri ESDM yang tidak eligible untuk mengembangkan cadangan gas secara langsung dengan membangun kilang LNG atau mengalirkan gas C1 dan C2 dengan pipa utuk dimanfaatkan di Kalbar, dan lain-lain. Selain adanya temuan cadangan gas besar di Aceh Utara yang perlu segera dikembangkan.
Sementara kita ketahui bahwa rendah dan terus turunnya produksi migas dalam negeri dalam dua dekade terakhir, ini yang menyebabkan ketahanan energi nasional sangat lemah.
Anjloknya produksi migas disebabkan oleh hadirnya UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang menciptakan sistem tata kelola migas sangat buruk dan tidak disukai oleh investor, bahkan belasan pasalnya inkonstitusional, karena sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK No. 36/ PUU–X/2012.
Rakyat mengetahui bahwa presiden dan menteri telah bersumpah atau berjanji untuk menghormati dan mentaati konstitusi UUD 1945 dan di dalamnya terdapat Pasal 33 yang mengatur bahwa kekayaan sumber daya alam yang ada di dalam bumi negara kita, termasuk migas harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-sebarnya kemakmuran rakyat
Untuk menaikkan produksi migas nasional agar tidak lagi tergantung pada migas impor, cara konstitusional dan rasional disarankan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut UU Migas No.22 Tahun 2001 dengan mengeluarkan Perppu. Mengingat DPR RI sudah tiga periode gagal merevisi UU Migas No.22 Tahun 2001.
Cara konstitusional dan rasional mencabut undang-undang yang tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, sudah dicontohkan oleh PM Ir. Djuanda ketika mencabut pemberlakuan UU Pertambangan Zaman Kolonial (Indische Mijnwet) di sektor migas dengan mengeluarkan Perppu, atas usulan anggota DPR asal Aceh, Tengku Muhammad Hasan. Kemudian DPR menerima Perppu tersebut dengan melahirkan UU Migas No.44/Prp/1960.
Sepuluh tahun kemudian, barulah keluar UU Pertamina No.8 Tahun 1971 yang melahirkan Pertamina sebagai pengelola migas nasional. Terbukti berhasil membawa sektor migas tidak hanya dapat menjamin kemandirian energi, di mana seluruh kebutuhan energi berasal dari dalam negeri. Juga berhasil membawa sektor migas menjadi sumber utama penerimaan negara/APBN dan berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional ke level tertinggi hingga 9,8% di tahun 1980.
Dr Kurtubi — Alumnus SMAN Mataram, FEUI Jakarta, IFP Perancis dan CSM Amerika.