Oleh: Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc
Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL) Strategic Center menyelenggarakan Focused Group Discussion (FGD) dengan tema “Urgensi Revisi UU Migas No 22 Tahun 2001 menuju Ketahanan Energi Nasional”. FGD terselenggara melalui kerja sama antara IKAL Strategic Centre dengan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Hotel Grand Orchad, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, 17 Oktober 2024.
FGD menyoroti urgensi revisi Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 tentang Migas semakin mendesak, seiring dengan dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/PUU-X/2012 yang menyatakan 13 pasal dalam undang-undang tersebut inkonstitusional.
Kevakuman hukum yang terjadi memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan diskresi melalui peraturan menteri, yang justru menjauhkan pengelolaan minyak dan gas bumi dari orientasi kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Kondisi ini menurunkan peran negara dalam mengelola kekayaan sumber daya alam, membuka peluang yang lebih besar bagi swasta dalam eksplorasi dan eksploitasi migas, dan mengurangi kemampuan pemerintah dalam mengawasi aktivitas pengelolaan tersebut.
Secara historis, perubahan status PT Pertamina menjadi perusahaan yang lebih berorientasi bisnis telah mengurangi perannya dalam memastikan kesejahteraan rakyat. Hal ini berdampak pada menurunnya tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan bahan bakar minyak dan gas yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, yang merupakan faktor kunci dalam kemandirian ekonomi dan pembangunan nasional.
Saya diundang sebagai narasumber untuk menyampaikan presentasi materi makalah selama 45 menit terkait bahasan “Urgensi Revisi Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 menuju Ketahanan Energi Nasional”. Saat presentasi, saya sampaikan bahwa secara geologis potensi cadangan migas di negara kita masih sangat besar. Hingga saat ini, jumlah cekungan sedimen (sedimentary basins), di mana cadangan migas terjebak di perut bumi, diketahui sebanyak 130 cekungan. Yang sudah dieksplorasi secara intensif baru sekitar separuhnya.
Sejak Undang-Undang Migas No.22 Tahun 2001 tentang Migas berlaku, kegiatan dan investasi eksplorasi migas menurun anjlok, sehingga selama bertahun-tahun tidak ada sumur minyak baru yang ditemukan. Produksi migas hanya mengandalkan sumur-sumur minyak yang sudah tua.
Saat ini produksi minyak mentah di bawah 600 ribu barel per hari (bph). Angka produksi minyak mentah terendah dalam 50 tahun. Target lifting minyak mentah dalam APBN sudah bertahun-tahun tidak tercapai, sehingga terjadi defisit neraca perdagangan migas yang akut bertahun-tahun. Hingga hari ini, ketergantungan pada minyak impor sangat besar dan terus meningkat.
Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Migas merupakan undang-undang yang di-endorce oleh IMF, karena Pemerintah Indonesia pinjam uang dari IMF, persisnya ketika terjadi krisis moneter tahun 1998. UU Migas ini disusun oleh anak bangsa sendiri, bukan oleh direktur atau pegawai IMF.
Sembilan Fakta
Fakta ternyata UU No.22 Tahun 2021 tentang Migas ini sangat buruk. Satu, sistem tata kelola migas yang diciptakan tidak disukai oleh investor migas, di mana dalam Pasal 31 Undang-Undang ini mewajibkan investor membayar pajak dan pungutan-pungutan semasa eksplorasi, belum produksi. Di Majalah Tempo Edisi Oktober 2002, baru satu tahun usia UU No.22 Tahun 21 tentang Migas ini, saya sarankan agar undang-undang ini supaya dicabut selagi dampak negatifnya bagi bangsa masih pada tahap dini.
Dua, belasan pasal dari UU ini sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk membubarkan BP Migas yang menjadi wakil pemerintah dalam berhubungan dan berkontrak business to government (B to G) dengan investor migas.
Tiga, di era Presiden SBY, BP Migas yang dibubarkan oleh MK ini, kembali dihidupkan dan diubah namanya menjadi SKK Migas tanpa ada dasar hukum undang-undang yang kuat untuk melabrak keputusan MK. Sehingga lebih bersifat sebagai solusi sementara (ad-hoc). Ternyata, kehadiran SKK Migas masih ada hingga sekarang.
Empat, di Koran Kompas saya sarankan agar BP Migas yang dibubarkan oleh Keputusan MK yang bersifat final and binding, supaya dikembalikan ke Pertamina sebagai institusi asal dari BP Migas yang bernama Badan Koordinator Kontraktor Asing (BKKA) di bawah Dirut Pertamina, sehingga hubungan dengan investor kembali ke business to business (B to B) yang simpel.
Hal ini seyogyanya terjadi di era pemerintahan SBY yang melahirkan SKK Migas sebagai kelanjutan dari BP Migas. Ketika itu, Presiden SBY pernah secara lisan lewat telepon bersama Andi Malarangeng meminta saya untuk memberikan masukan tertulis tentang perbaikan pengelolaan migas. Masukan pandangan sudah saya sampaikan ke Menteri ESDM, Jero Wacik, termasuk analisis kerugian negara akibat dijualnya LNG Papua ke Fujian China dengan menggunakan formula harga jual yang salah menyetujui patokan batas atas harga crude oil yang sangat rendah, yaitu US$38 per barel utk kontrak penjualan LNG jangka pajang ke Fujian. Waktu itu, harga crude oil dunia sekita US$110 per barel, saya perkirakan negara rugi sekitar US$ 4 miliar atau sekitar Rp34 triliun per tahunnya. Sampai pihak buyer di Fujian bersedia mengubah formula harga jual yang tidak fair dan sangat merugikan Indonesia.
Lima, proses investasi yang diciptakan oleh para penyusun UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas sangat ribet, ruwet, dan birokratik, sehingga tidak disukai investor akibat dari pihak yang berkontrak dengan investor adalah pemerintah dengan pola hubungan B to G.
Pemerintah tentu tidak bisa mengurus perizinan yang dibutuhkan oleh investor sebelum UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas yang proses investasinya simpel dan tidak birokratik, karena yang berkontrak dengan investor adalah perusahaan negara dengan sistem B to B, dan regulasinya berdasarkan undang-undang.
Enam, UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas telah memindahkan Kuasa Pertambangan (mining right) dari Pertamina ke Menteri ESDM, yang sebenarnya tidak eligible. Tidak memenuhi syarat untuk memegang Kuasa Pertambangan. Karena Menteri ESDM atau pemerintah tidak bisa untuk melakukan kegiatan usaha, kegiatan bisnis, termasuk kegiatan eksplorasi produksi, serta kegiatan jual beli migas secara langsung. Pemerintah hanya bisa menunjuk perusahaan atau pihak ketiga untuk melakukan kegiatan bisnis.
Tujuh, dalam mengembangkan cadangan gas besar yang ditemukan oleh investor di sisi hulu, Menteri ESDM atau pemerintah menunjuk perusahaan British Petroleum untuk membangun Kilang LNG di Papua, dan menunjuk INPEX membangun Kilang LNG di Masela. Kemudian produk LNG dari Papua dijual murah ke Fujian China dengan kontrak jangka panjang, menggunakan formula harga Jual yang salah. Tidak sesuai dengan: a) Formula harga jual yang dibuat oleh Pertamina ketika perusahaan negara ini menjual produksi LNG dari Kilang Arun dan Kilang Bontang dengan tidak membatasi harga crude. b) Formula harga jual tidak sesuai dengan teori Ekonomi Energi, di mana harga jual SDA migas yang bersifat nonrenewable seyogyanya memperhatikan interest rate, sehingga pemilik SDA migas tidak dirugikan, kapanpun hendak dijual.
Delapan, cadangan gas besar di Masela oleh Menteri ESDM atau pemerintah menunjuk INPEX untuk membangun Kilang LNG-nya. Ternyata, kilang LNG yang dibangun tidak sekesai selama bertahun-tahun. Akibatnya, SHELL sebagai patner INPEX give up lantas hengkang, budhal dari Masela. Malah Menteri ESDM memerintahkan Pertamina lewat SKK Migas (pasca UU Migas, Pertamina diposisikan di bawah BP Migas/SKK Migas) untuk membeli saham SHELL, yang sebenarnya menurut pendapat saya, tidak perlu. Sebab, Pertamina bisa masuk ke proyek Masela secara konstitusional dan efisien tanpa harus keluar uang jutaan dolar untuk membeli saham SHELL, yaitu dengan cara: Presiden mengeluarkan PERPPU mencabut UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas dan menghidupkan kembali dua UU, yaitu UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971, yang dicabut oleh UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas.
Sembilan, sudah lebih dua dekade UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas terbukti sangat merugikan negara dan rakyat, namun hingga hari ini undang-undang yang belasan pasalnya sudah dicabut oleh MK masih digunakan. DPR-RI juga sudah gagal melahirkan UU Migas yang baru, di mana dalam tiga periode pembahassn, ternyata UU ini masih berlaku sampai sekarang.
Sebenarnya, ketika UU Migas ini disahkan tahun 2001 oleh pemerintah dan DPR-RI, ada sebagian anggota DPR-RI yang tidak setuju disahkan menjadi UU, dengan melakukan walked out dari sidang DPR. Banyak pihak mengira bahwa konsep RUU Migas yang kemudian disahkan menjadi UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas ini, disusun oleh direktur IMF atau oleh staf/pegawai IMF. Ternyata, yang menyusun RUU-nya adalah anak bangsa sendiri.
Presiden Jokowi pada hari-hari terakhir sebaga Presiden masih sempat menyesalkan tidak tercapainya target lifting minyak dalam APBN 2024, yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor minyak dan gas dalam jumlah sangat besar. Faktanya selama sepuluh tahun memerintah, nyaris tidak pernah terdengar Presiden Jokowi bicara tentang rendah dan terus turunnya produksi migas, apalagi lagi untuk melakukan langkah merevisi atau mencabut UU NO.22 Tahun 2001 tentang Migas dengan mengeluarkan PERPPU.
Karena itu, saya berharap Presiden RI periode 2024-2029, Prabowo Subianto segera mencabut UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas dengan PERPPU, seperti yang dilakukan oleh Pemerintahan Kabinet Kerja (Zaken Kabinet) dari PM Ir. Djuanda yang mencabut UU Pertambangan zaman kolonial (Indische Mijnwet). UU Pertambangan ala kolonial ini menggunakan tata kelola pertambangan dengan sistem konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK).
(Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc.,-Alumnus SMAN Mataram, FEUI Jakarta, IFP Perancis dan CSM Amerika)