Enam, UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas telah memindahkan Kuasa Pertambangan (mining right) dari Pertamina ke Menteri ESDM, yang sebenarnya tidak eligible. Tidak memenuhi syarat untuk memegang Kuasa Pertambangan. Karena Menteri ESDM atau pemerintah tidak bisa untuk melakukan kegiatan usaha, kegiatan bisnis, termasuk kegiatan eksplorasi produksi, serta kegiatan jual beli migas secara langsung. Pemerintah hanya bisa menunjuk perusahaan atau pihak ketiga untuk melakukan kegiatan bisnis.
Tujuh, dalam mengembangkan cadangan gas besar yang ditemukan oleh investor di sisi hulu, Menteri ESDM atau pemerintah menunjuk perusahaan British Petroleum untuk membangun Kilang LNG di Papua, dan menunjuk INPEX membangun Kilang LNG di Masela. Kemudian produk LNG dari Papua dijual murah ke Fujian China dengan kontrak jangka panjang, menggunakan formula harga Jual yang salah. Tidak sesuai dengan: a) Formula harga jual yang dibuat oleh Pertamina ketika perusahaan negara ini menjual produksi LNG dari Kilang Arun dan Kilang Bontang dengan tidak membatasi harga crude. b) Formula harga jual tidak sesuai dengan teori Ekonomi Energi, di mana harga jual SDA migas yang bersifat nonrenewable seyogyanya memperhatikan interest rate, sehingga pemilik SDA migas tidak dirugikan, kapanpun hendak dijual.
Delapan, cadangan gas besar di Masela oleh Menteri ESDM atau pemerintah menunjuk INPEX untuk membangun Kilang LNG-nya. Ternyata, kilang LNG yang dibangun tidak sekesai selama bertahun-tahun. Akibatnya, SHELL sebagai patner INPEX give up lantas hengkang, budhal dari Masela. Malah Menteri ESDM memerintahkan Pertamina lewat SKK Migas (pasca UU Migas, Pertamina diposisikan di bawah BP Migas/SKK Migas) untuk membeli saham SHELL, yang sebenarnya menurut pendapat saya, tidak perlu. Sebab, Pertamina bisa masuk ke proyek Masela secara konstitusional dan efisien tanpa harus keluar uang jutaan dolar untuk membeli saham SHELL, yaitu dengan cara: Presiden mengeluarkan PERPPU mencabut UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas dan menghidupkan kembali dua UU, yaitu UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971, yang dicabut oleh UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas.
Sembilan, sudah lebih dua dekade UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas terbukti sangat merugikan negara dan rakyat, namun hingga hari ini undang-undang yang belasan pasalnya sudah dicabut oleh MK masih digunakan. DPR-RI juga sudah gagal melahirkan UU Migas yang baru, di mana dalam tiga periode pembahassn, ternyata UU ini masih berlaku sampai sekarang.
Sebenarnya, ketika UU Migas ini disahkan tahun 2001 oleh pemerintah dan DPR-RI, ada sebagian anggota DPR-RI yang tidak setuju disahkan menjadi UU, dengan melakukan walked out dari sidang DPR. Banyak pihak mengira bahwa konsep RUU Migas yang kemudian disahkan menjadi UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas ini, disusun oleh direktur IMF atau oleh staf/pegawai IMF. Ternyata, yang menyusun RUU-nya adalah anak bangsa sendiri.
Presiden Jokowi pada hari-hari terakhir sebaga Presiden masih sempat menyesalkan tidak tercapainya target lifting minyak dalam APBN 2024, yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor minyak dan gas dalam jumlah sangat besar. Faktanya selama sepuluh tahun memerintah, nyaris tidak pernah terdengar Presiden Jokowi bicara tentang rendah dan terus turunnya produksi migas, apalagi lagi untuk melakukan langkah merevisi atau mencabut UU NO.22 Tahun 2001 tentang Migas dengan mengeluarkan PERPPU.
Karena itu, saya berharap Presiden RI periode 2024-2029, Prabowo Subianto segera mencabut UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas dengan PERPPU, seperti yang dilakukan oleh Pemerintahan Kabinet Kerja (Zaken Kabinet) dari PM Ir. Djuanda yang mencabut UU Pertambangan zaman kolonial (Indische Mijnwet). UU Pertambangan ala kolonial ini menggunakan tata kelola pertambangan dengan sistem konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya (KK).
(Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc.,-Alumnus SMAN Mataram, FEUI Jakarta, IFP Perancis dan CSM Amerika)